Pages

Referensi tahlillan

http//Delima821.blogspot.com
Menilai Objektifitas Status Hukum Tahlil

dakwatuna.com - Dewasa ini semakin hangat diperbincangkan persoalan-persoalan yang terkait dengan tradisi yang dilakukan oleh muslim nusantara secara konsisten dan  mengakar, baik dari perspektif akidah maupun amaliah. Hal ini disebabkan oleh hadirnya kelompok-kelompok baru yang kontra dengan tradisi Islam nusantara kemudian rutin memberi vonis  bid’ah, haram, syirik, sesat menyesatkan dan sebagainya. Diantara tradisi yang dipertentangkan adalah tahlil, asumsinya bahwa tahlil termasuk ibadah yang tidak ada tuntunannya dalam agama.
Sebagai muslim yang baik tentu kita tertantang untuk membuktikan secara ilmiah apakah vonis-vonis tersebut benar adanya atau malah sebaliknya tahlil memang ada dasarnya dalam islam. Dengan pembuktian ilmiahlah kita akan benar-benar netral dan tidak bertendensi untuk tergesa-gesa memberikan status hukum yang cenderung provokatif. Sebab setiap persoalan berpotensi menimbulkan ketegangan dan ketidaksenangan utamanya pada internal umat Islam sendiri.  Tentu kita tidak akan rela mengorbankan muslim di akar rumput untuk saling bermusuhan.
Mari kita bedah sedikit apa itu tahlil. Menurut Hasyiyah al-Bujairimi tahlil berasal dari kata bahasa arab Hallala-Yuhallilu-Tahlilan. Kata tahlil merupakan kata yang disingkat dari kalimat La Ilaha Illallah yang dalam literatur bahasa arab dikenal dengan al-Naht. Penyingkatan ini sama dengan beberapa istilah lain seperti takbir (dari Allahu Akbar), Hamdalah (dari Alhamdulillah) dan lain sebagainya. (Hal.1)
Kata tahlil kemudian identik dengan sebuah istilah untuk satu tradisi tertentu. Yakni majelis untuk berkumpulnya beberapa orang untuk membaca al-Quran dan dzikir-dzikir yang ma’tsur (diriwayatkan) yang diamalkan oleh Rasulullah SAW seperti tasbih, takbir, tahlil dan sebagainya untuk dihadiahkan pahalanya kepada saudara, kerabat, tetangga atau sahabat yang telah meninggal. Tradisi ini tidak hanya dilakukan ketika ada yang meninggal namun juga kerap dilakukan dalam pengajian rutin, ziarah kubur dan majelis lainnya.
Seiring berjalannya waktu, ternyata hadir beberapa kelompok gencar mempermasalahkan beberapa kegiatan yang berkaitan dengan tahlil. Diantaranya seperti tradisi selametan 7, 40 dan 100 hari sebagai warisan tradisi sebelum islam, mengirim pahala tahlil dan bacaan al-Quran kepada orang yang telah meninggal, mengadakan perkumpulan di rumah orang yang meninggal dan masalah-masalah lainnya.
Pertanyaan yang sering mengemuka di masyarakat adalah apakah sesuatu yang tidak dilakukan pada masa nabi semuanya dihukumi haram? Pertanyaan ini penting untuk dijawab sebab ada pemahaman bahwa setiap hal yang tidak pernah dilakukan Rasulullah adalah perbuatan bid’ah dan sesat menyesatkan. Misalnya tradisi tahlil, membaca al-Quran di kuburan dan sebagainya. Dengan alasan tidak dilakukan Nabi mereka melarang beberapa amaliah tersebut.
Larangan terhadap suatu amaliah tertentu harus disertai dalil dan tak hanya cukup sekedar mengatakan ‘Tidak dilakukan oleh Nabi’. Hal ini didasarkan pada perintah Allah Swt dalam surat al-Hasyr ayat 7 yang artinya “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarang bagimu maka tinggalkanlah”.
Kemudian dipertegas oleh hadis Nabi diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yakni ”Jika aku memerintahkan sesuatu maka lakukanlah dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”. Sudah jelas baik ayat maupun hadist tidak ada yang mengatakan bahwa yang tidak dilakukan oleh Nabi Saw harus ditinggalkan. Pertanyaannya adakah dalil al-Quran dan hadist yang mengharamkan tahlilan, membaca al-Quran di kuburan, istighatsah dan sebagainya. (Hal.32-34)
Begitupun mengenai tradisi tahlilan 7 dan 40 hari. Kelompok yang kontra dengan tradisi tahlil selalu mengatakan bahwa tradisi tersebut telah bercampur dengan tradisi agama pra islam di Jawa yaitu  Hindu dan Budha, sehingga prakteknya haram untuk dilakukan karena menyerupai (Tasyabbuh) dengan tradisi agama lain. Hal ini juga terjadi pada perayaan Maulid Nabi yang dianggap mirip dengan perayaan Natal dalam Kristen.
Disini perlu pelurusan pemahaman bahwa tidak selamanya yang tergolong tasyabbuh adalah perkara yang diharamkan. Sebab tidak semua kemiripan tradisi mengarah pada substansi kandungan dalam tradisi tersebut. Oleh sebab itu mengenai tradisi 7 dan 40 hari ada dalil yang diriwayatkan oleh murid Ibnu Taimiyah (tokoh rujukan kelompok kontra tahlil) yaitu Ibnu Kastir dalam kitab al-Bidayah wa an-Nihayah. Beliau menyampaikan bahwa “ Imam Ahmad mengutip pernyataan Thawus: Sesungguhnya orang-orang yang mati mendapatkan ujian di kubur selama 7 hari. Maka para sahabat senang untuk memberi sedekah pada 7 hari tersebut”. Bahkan masih banyak lagi hadist dan fatwa ulama yang memperbolehkan tradisi ini seperti Jalaluddin as-Suyuthi dan Ibnu Hajar al-Haitami as-Syafi’i melalui kitab-kitabnya. (Hal.124-130)
Perdebatan terus terjadi diberbagai media, baik media cetak maupun online. Hadirnya buku ilmiah karya Ustadz Muhammad Ma’ruf Khozin bertema khusus tahlil adalah untuk menengahi hal tersebut. Disamping itu juga sebagai sumbangan baru ilmu pengetahuan dan memperkaya khazanah keabsahan tahlil dalam pandangan agama. Dengan bersandar pada argumentasi yang kuat yakni didasarkan pada al-Quran dan hadist Ustadz Khozin benar-benar mampu menjawab semua vonis yang dituduhkan.
Sampai disini nilai kedewasaan dalam beragama memang sangat dibutuhkan. Meluruskan sesuatu yang keliru dalam Islam merupakan fardhu kifayah. Untuk menggugurkan kewajiban tersebut  tentu ketika menyampaikannya harus dengan dalil yang kuat, baik dari al-Quran, hadist dan berbagai literatur lainnya. Sebab dengan begitu kadar keilmiahannya terjamin untuk menentukan benar tidaknya suatu perkara. Semoga kita tidak terjebak dalam mindset sempit sehingga benar-benar objektif dalam menilai.

Tahlil berasal dari kata hallala-yuhallilu-tahlilan yang artinya membaca kalimat la ilaha illallah : tiada Tuhan selain Allah. Jadi yang dimaksud dengan tahlil di sini adalah membaca serangkaian surat-surat Al-Qur’an, ayat-ayat pilihan, dan kalimat-kalimat zikir pilihan (termasuk di dalamnya membaca la ilaha illallah) dengan meniatkan pahalanya untuk para arwah dan ditutup dengan do’a.
Sesuai sabda Nabi Muhammad SAW :
Artinya :
Seutama-utama zikir adalah la ilaha illallah (kalimat tahlil). Dan seutama-utama zikir yang aku dan juga para nabi sebelumku mengucapkan kalmat la ilaha illallah. Ia adalah kalimat tauhid dan kalimat kemurnian dan keesaan Allah. Ia juga asma Allah yang teragung. (HR. Imam At-turmudzi, an-Nasa’I, Ibnnu Majjah, dan Al-Hakim).

Tahlil secara lughat berarti bacaan لاإله إلاالله  (Lailaha illallah) seperti halnya Tasbih berarti bacaan سبحان الله  (Subhanallah), Tahmid bacaan الحمد لله  (Alhamdulillah) dan lain sebagainya.
Bahasa Arab kebanyakan selain mempunyai arti secara lughowi (bahasa) juga mempunyai arti secara istilahi atau urfi. Tasbih misalnya pengertian secara urfi ialah mengagumi dan mensucikan Allah sang Maha pencipta dari segala kekurangan dan kelemahan, yang direfleksikan dengan bersyukur, rasa takjub dan lain sebagainya yang diiringi dengan mengucapkan Subhanallah.

Sejarah Tahlil

Sejarah terkait penyusunan tahlil ada beberapa pendapat, ada yang  berpendapat bahwa yang pertama menyusun tahlil adalah Sayyid Ja’far Al- Barzanji. Sedangkan pendapat yang lain mengatakan bahwa yang menyusun tahlil pertama kali adalah Sayyid Abdullah bin Alwi Al Haddad.
Dari dua pendapat tersebut, pendapat yang paling kuat tentang siapa penyusun pertama tahlil adalah Imam Sayyid Abdullah bin Alwi Al Haddad. Hal itu didasarkan pada argumentasi bahwa Imam Al- Haddad yang wafat pada tahun 1132 H lebih dahulu daripada Sayyid Ja’far Al – Barzanji yang wafat pada tahun 1177 H.
Pendapat tersebut diperkuat oleh tulisan Sayyid Alwi bin Ahmad bin Hasan bin Abdullah bin Alwi Al-Haddad dalam syarah Ratib Al Haddad, bahwa kebiasaan imam Abdullah Al Haddad sesudah membaca Ratib adalah bacaan tahlil. Para hadirin yang hadir dalam majlis Imam Al Haddad ikut membaca tahlil secara bersama-sama tidak ada yang saling mendahului sampai dengan 500 kali.

Bacaan Tahlil

Tahlil dari susunan bacaannya terdiri dari dua unsur yang disebut dengan syarat dan rukun, yang dimaksud dengan syarat ialah bacaan :
1. Surat al-Ikhlas
2. Surat al-Falaq
3. Surat an-Nas
4. Surat al-Baqarah ayat 1 sampai ayat 5 الم ذلك الكتاب …….
5. Surat al-Baqarah ayat 163 والهكم إله واحد ……..
6. Surat al-Baqarah ayat 255 الله لاإله إلا هو الحي القيوم ……..
7. Surat al-Baqarah ayat dari ayat 284 samai ayat 286 لله مافي السموات ……
8. Surat al-Ahzab ayat 33 إنما يريد الله ……..
9. Surat al-Ahzab ayat 56إن الله وملائكته يصلون على النبي ……..
10. Dan sela-sela bacaan antara Shalawat, Istighfar, Tahlil da Tasbih
Adapun bacaan yang dimaksud dengan rukun tahlil ialah bacaan :
1. Surat al-Baqarah ayat 286 pada bacaan :واعف عنا واغفر لنا وارحمنا
2. Surat al-Hud ayat 73: ارحمنا ياأرحم الراحمين
3. Shalawat Nabi
4. Istighfar
5. Kalimat Thayyibah لاإله إلاالله
6. Tasbih


TRADISI TAHLIL


Pendahuluan

  Berdasarkan studi sejarah Islam di Indonesia banyak dikemukakan bahwa kelompok-kelompok tarekat telah berkembang pesat sejak abad ke 13. Perkiraan bahwa kelompok tarekat merupakan kelompok yang mentradisikan tahlilan/zikir didasarkan pada konsep ajaran-ajaran yang dikembangkan. Aawal mula acara tahlila/zikrullah tersebut berasal dari upacara peribadatan (selamatan) nenek moyang bangsa indonesia yang mayoritasnya Hindu dan Budha. Upacara tersebut sebagai bentuk penghormatan dan mendo'akan orang yang telah meninggalkan dunia yang diselenggarakan pada waktu seperi halnya tahlilan.

Namun acara tahlilan secara praktis di lapangan berbeda dengan prosesi selamatan agama lain yaitu dengan cara mengganti mantra dan do'a-do'a ala agama lain dengan bacaan dari Al-Qur'an, maupun dzikir-dzikir dan do'a-do'a versi islam. Dapat disebutkan inti ajaran tarekat adalah pelaksanaan zikrullah sebagai jalan untuk mensucikan dan mendekatkan diri kepada Sang khaliq. Upacara selamatan bagi orang meninggal (tradisi tahlilan) hari ke-1, 2, 3, 7, 40, 100 atau seribu hari hingga haul(ulang tahun kematian yang dilaksanakan setiap tahun) dengan kegiatan tahlil adalah suatu tradisi untuk menanamkan tauhid ditengah suasana keharuan duka yang sentimental dan sugestif.

Aktifitas tahlil/zikir yang berawal dari ajaran tarekat itulah yang kemudian meluas menjadi tradisi tahlilan. Dikatakan sebagai tahlil, karena memang dalam pelaksanaanya lebih banyak membaca kalimat-kalimat tahlil yang mengesakan Allah seperti 'tahlil' (membaca lailaha illallah), tahmid, dan lain sebagainya sesuai dengan tradisi masyarakat setempat atau pemahaman dari guru (syekh) suatu daerah tertentu.

Kehadiran instrument islam akan selalu mengakibatkan transformasi social menuju suatu bentuk baru yang tidak serta merta memotong habis masa lampau budaya local yang dimasukinya, melainkan dapat juga melestarikan apa saja yang baik dan benar dari masa lampau. Seperti jilbab pada masyarakat Arab, sirwal pada masyarakat India, dan lain sebagainya. Tradisi tahlilan tidak hanya dikenal dikalangan umat Isalam di Indonesia. Menurut Agus Sunyoto—penulis buku Syekh Siti Jenar—berpendapat bahwa tahlil juga dilaksanakan di Iran, Hal tersebut didasarkann pada kenyataan bahwa ketika Imam Khomeini-pemimpin Syi'ah-meninggal juga diadakan tahlil untuk mendo'akanya.


Pembahasan

A.Pengertian.
Kata tahlil merupakan masdar yang berasal dari bahasa arab yaitu : Halala-tahlilan-tahlil, artinya membaca/mengucap kalimat "Laa ila ha illallah" makna inilah yang dimaksud dengan pengertian tahlilan. Dikatakan sebagai tahlil, karena memang dalam pelaksanaanya lebih banyak membaca kalimat-kalimat tahlil yang mengesakan Allah seperti 'tahlil' (membaca laa ila ha illallah), tahmid. Dan lain sebagainya sesuai dengan tradisi masyarakat setempat atau pemahaman dari guru (syekh) suatu daerah tertentu.

Pada pelaksanaan tahlilan selain bacaan tahlil ada juga beberapa ayat Al-Qur'an, tasbih, hamdalah, sahalawat dan lain sebagainya yang bagi umat muslim dianggap memiliki fadhilah dan syafaat. Mereka sering mengamalkanya dalam segala macam acara ritual, bahkan dalam resepsi (sebelum atau sesudah akad nikah pun mereka tidak meninggalkan amalan tahlilan ini.

Dengan kata lain : digunakan bacaan-bacaan tetentu yang mengandung banyak keutamaan (fadhilah). Fenomena yang terlihat di masyrakat ada beberapa jenis makna penyebutan kata pelaksanaan tahlilan umumnya dipakai untuk persembahan yang dikelompokan menurut jenis, maksud,dan suasana; ketika dipakai untuk peristiwa gembira disebut syukuran, untuk peristiwa sedih (kematian) atau untuk meminta perlindungan (pindah rumah, menempati kantor/rumah baru, awal membuka usaha dll.) disebut selamatan (mohon perlindungan), dan untuk meminta sesuatu disebut hajatan (menghasratkan sesuatau).

Disamping itu juga tahlil dilaksanakan pada acara-acara tetentu seperti pada saat seseorang akan pergi jauh dan dalam waktu yang cukup lama (pergi haji, merantau belajar, atau bekerja diluar negeri), acara pertemuan keluarga seperti arisan keluarga maupun halal- bihalal, khitanan.

Tradisi tahlil dalam masyrakat jawa juga sering disebut dengan kata sedekah (sedekahan, karena dalam setiap kegiatannya diangggap selalu memberikan sedekah (pemberian) baik bagi mereka yang datang berkunjung atau bagi pemilik hajat.

Jadi masing-masing saling bersedekah (memberi) dalam bentuk barang atau pun berupa dukungan moral yang sangat mereka harapkan. Dukungan moral diantara mereka secara psikologis dapat saling memberi motivasi. Dalam kenyataan istilah syukuran, hajatan dan sedekah sulit dibedakan, mereka lebih sering menggunakan kata tahlilan.


B.Prosesnya
Telah kita maklumi bersama bahwa acara tahlilan merupakan upacara ritual seremonial yang biasa dilakukan oleh keumuman masyarakat Indonesaia untuk memperingati hari kematian. Secara bersama-sama , berkumpul sanak saudara, handai taulan, beserta masyarakat sekitarnya.

Membaca beberapa ayat Al-Qur'an , dzikir-dzikir dan disertai dengan do'a-do'a tertentu untuk dikirimkan kepada si mayit. Karena dari sekian materi bacaanya terdapat kalimat tahlil yang dilulang-ulang (ratusan kali bahkan ada yang sampai ribuan kali), maka acara tersebut dikenal dengan istilah tahlilan.

Dalam masyarakat acara tahlilan ini biasanya ada dua versi dalam pelaksanaanya yaitu; pertama acara tahlilan yang diselenggarakan setelah selesai proses penguburan (terkadang dilakukan sebelum penguburan mayit), kemudian terus berlangsung setiap hari sampai hari ketujuh.

Lalu diselenggaran kembali pada hari ke- 40, 100 dan 1000. Untuk selanjutnya acara tersebut diadakan tiap tahun dari hari kematian si mayit, walaupun terkadang berbeda antar satu tempat dengan tempat lainnnya.

Untuk rincianya adalah sebagai berikut :
Geblag atau surtanah yang diadakan pada saat meninggalnya seseorang
Nelung dina, Yaitu selamatan kematian yang diselenggarakan pada hari ketiga sesudah saat meninggalnya seseorang.
Mitung dina,Yaitu selamatan kematian yang diselenggarakan pada hari ketujuh sesudah saat meninggalnya seseorang.
Matang puluh,Yaitu selamatan kematian yang diselenggarakan pada hari keempat puluh sesudah saat meninggalnya seseorang.
Nyatus, Yaitu selamatan kematian yang diselenggarakan pada hari keseratus sesudah saat meninggalnya seseorang.
Mendak sepisan dan mendak pindo, masing-masing selamatan kematian yang dilakukan pada waktu sesudah satu tahun dan dua tahunnya dari saat meningalnya seseorang.
Nyewu, sebagai selamatan saat-saat sesudah kematian seseorang yang bertepatan dengan genap keseribu harinya. Selamat ini kadang-kadang disebut juga dengan sedejah nguwis-nguwisi. Artinya yang terakhir kali.
Kedua, untuk acara rutinitas suatu desa pada setiap malam jum'at dan dilaksanakan secara bergilir dari rumah ke rumah.
Adapun nanti setiap rumah yang mendapatkan gilirannya, tuan rumah biasanya akan mempersiapkan sajian hidangan berupa makanan kecil/snack atau kadang ada prasmanan. Akan tetapi penyajian hidangan ini tidak ditentukan, jadi menurut kemampuan masing-masing dari tuan rumah. Biasanya, di pedesaan tahlilan diadakan pada malam hari (setelah sholat isya')akan tetapi jika di kota tahlilan biasanya pada waktu makan siang (setelah sholat duhur) ataupun pada malam harii (setelah sholat magib).

C.Analisis
Acara tahlilan -paling tidak- terfokus pada dua acara yang paling penting yaitu:

• Pertama: pembacaan beberapa ayat/surat Al-Qur'an, dzikir-dzikir dan disertai dengan do'a-do'a tertentu. Pada umumnya bacaan-bacaan yang dibaca adalah pertama dengan membaca surat Al-Fatihah beberapa kali kemudian dilanjutkan dengan membaca Surat Yasin setelah itu Surat Al-Ikhlas 3x, Surat Al-Falaq 1x, Surat An-nas 1x dilanjutkan sebagian dari ayat-ayat dari surat Al-Baqarah dan bacaan sholawat, tasbih, tahmid, istigfar dan tahlil dan ditutup dengan bacaan do'a.

• Kedua : Penyajian hidangan. Setelah proses pembacaan tahlil selesai kemudian dilanjutkan dengan penyajian hidangan yang sudah disiapkan sebelumnya oleh tuan rumah. Pada umumnya hidangan yang disajikan adalah berupa snack/makaan kecil akan tetapi kadang juga dilanjutkan dengan prasmanan( makan bersama).

Urgensi
Geertz menjelaskan bahwa selamatan (tahlilan) tidak hanya dilakukan dengan maksud untuk memelihara rasa solidaritas bagi manusia yang melakukannya akan tetapi juga dalam rangka memelihara hubungan baik dengan arwah nenek moyang. Kecuali itu menurut Geertz selamatan juga mempunyai aspek-aspek keagamaan, karena selama kegiatan ini berlangsung segala perasaan agresif terhadap orang lain akana hilang, dan akan mersa tenang.
http://www.miftakh.com/2010/01/tradisi-tahlil.html

Fiqh Khilafiyah NU-Muhammadiyah: Seputar Tahlil

Written By Dhany atthalibul 'ulum on Kamis, 26 April 2012 | 21.48


Dalam bahasa Arab, Tahlil berarti menyebut kalimah “syahadah” yaitu “La ilaha illa Allah” (لاالهالاالله). Dalam konteks Indonesia, tahlil menjadi sebuah istilah untuk menyebut suatu rangkaian kegiatan doa yang diselenggarakan dalam rangka mendoakan keluarga yang sudah meninggal dunia.

 Kegiatan tahlil sering juga disebut dengan istilah tahlilan. Tahlilan, sudah menjadi amaliah warga NU sejak dulu hingga sekarang. Sementara kalangan Muhammadiyah tidak membenarkan diselenggarakannya tahlilan.

 Bacaan-bacaan doa serta urutan dalam acara tahlil juga sudah tersusun sedemikian rupa, dan dihafal oleh warga NU. Begitu pula tentang bagaimana tradisi pelaksanaannya, di mana keluarga sedang tertimpa musibah kematian (shohibul mushibah) memberikan sedekah makanan bagi tamu yang diundang untuk turut serta mendoakan. NU menganggap bahwa acara tahlilan tidak bertentangan dengan syariat Islam, melainkan justru sesuai dengan apa yang telah disunnahkan oleh Rasulullah saw. 

Sementara Muhammadiyah menganggap bahwa acara tahlilan merupakan sesuatu hal yang baru, tidak pernah dikerjakan dan diperintahkan rasulullah (bid’ah). NU membenarkan bahwa bacaan doa, kiriman pahala dari membaca ayat-ayat al-Qur’an, dan shodaqah, bisa dikirimkan kepada orang yang sudah meninggal, sementara Muhammadiyah berpendapat bahwa membaca al-Qur’an, dan bacaan lain, serta bersodaqah yang dikirimkan kepada orang yang sudah meninggal pahala tersebut tidak akan sampai. Perbedaan pendapat seputar tahlil ini terjadi, dikarenakan terjadinya penafsiran yang berbeda terhadap ayat al-Qur’an dan hadis yang berkaitan dengan masalah tersebut.

 Selain juga karena dalil yang digunakan serta metode pengistimbathan hukumnya yang berbeda. Untuk lebih jelasnya, baiknya langsung kita pahami bersama dasar-dasar penolakan dan penerimaan tahlil dari NU dan 

Muhammadiyah

 Muhammadiyah Sebagaimana sudah dikenal, bahwa ajaran agama Muhammadiyah cenderung ingin memurnikan syariat Islam (tajdid). Islam yang menyebar luas di Indonesia, khususnya di jawa, tidak dipungkiri merupakan perjuangan dari para pendakwah Islam pertama, di antaranya adalah Wali Sanga. Dalam menyebarkan agama Islam, Walisanga menggunakan pendekatan kultural, yang mana tidak membuang keseluruhan tradisi dan budaya Hindu dan Budha, dua ajaran yang menjadi mayoritas pada masa itu, melainkan memasukkan ajaran-ajaran Islam ke dalam tradisi dan kepercayaan Hindu Budha. Salah satu tradisi agama Hindu, yaitu ketika ada orang yang meninggal adalah kembalinya ruh orang yang meninggal itu ke rumahnya pada hari pertama, ketiga, ketujuh, empat puluh, seratus, dan seterusnya.

 Dari tradisi itulah kemudian muncul tradisi yang kemudian dikenal dengan tahlil. Sebagaimana sudah pernah dibahas dalam Majalah Suara Muhammadiyah dan dimuat dalam buku Tanya Jawab Agama II yang diterbitkan Muhammadiyah, tahlilan tidak ada sumbernya dalam ajaran Islam. Tradisi selamatan kematian 7 hari, 40 hari, 100 hari maupun 1000 hari untuk orang yang meninggal dunia, sesungguhnya merupakan tradisi agama Hindu dan tidak ada sumbernya dari ajaran Islam.

 Muhammadiyah menganggap bahwa keberadaan tahlil pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari tradisi tarekat. Ini bisa diketahui dari terdapatnya gerak-gerak tertentu disertai pengaturan nafas untuk melafalkan bacaan tahlil sebagai bagian dari metode mendekatkan diri pada Allah. Dari tradisi tarekat inilah kemudian berkembang model-model tahlil atau tahlilan di kalangan umat Islam Indonesia. Dalam tanya jawab masalah Agama di Suara Muhammadiyah disebutkan macam-macam tahlil atau tahlilan. Di lingkungan Keraton terdapat tahlil rutin, yaitu tahlil yang diselenggarakan setiap malam Jum'at dan Selasa Legi; tahlil hajatan, yaitu tahlil yang diselenggarakan jika keraton mempunyai hajat-hajat tertentu seperti tahlil pada saat penobatan raja, labuhan, hajat perkawinan, kelahiran dan lainnya.

 Di masyarakat umum juga berkembang bentuk-bentuk tahlil dan salah satunya adalah tahlil untuk orang yang meninggal dunia. Muhammadiyah yang notabenenya mengaku masuk dalam kalangan para pendukung gerakan Islam pembaharu (tajdid) yang berorientasi kepada pemurnian ajaran Islam, sepakat memandang tahlilan orang yang meninggal dunia sebagai bid'ah yang harus ditinggalkan karena tidak ada tuntunannya dari Rasulullah. Esensi pokok tahlilan orang yang meninggal dunia sebagai perbuatan bid'ah bukan terletak pada membaca kalimat la ilaha illallah, melainkan pada hal pokok yang menyertai tahlil, yaitu;
 1. Mengirimkan bacaan ayat-ayat al-Qur'an kepada jenazah atau hadiah pahala kepada orang yang meninggal,
 2. Bacaan tahlil yang memakai pola tertentu dan dikaitkan dengan peristiwa tertentu.

 Berikut akan kami berikan argumentasi penolakan Muhammadiyah terhadap tahlil:
 Argumentasi Pertama: Bahwa mengirim hadiah pahala untuk orang yang sudah meninggal dunia tidak ada tuntunannya dari ayat-ayat al-Qur'an maupun hadis Rasul.
 Muhammadiyah berpendapat bahwa ketika dalam suatu masalah tidak ada tuntunannya, maka yang harus dipegangi adalah sabda Rasulullah saw, yang artinya: 
“Barangsiapa yang mengerjakan suatu perbuatan (agama) yang tidak ada perintahku untuk melakukannya, maka perbuatan itu tertolak.” [HR. Muslim dan Ahmad]

 Dalam situs pdmbontang.com memuat sebuah artikel yang berjudul “Meninggalkan Tahlilan, siapa takut?”, sebuah artikel yang bersumber dari MTA-online. Dalam artikel tersebut disebutkan bahwa Nabi Muhammad saw ketika masih hidup pernah mendapat musibah kematian atas orang yang dicintainya, yaitu Khodijah.

 Tetapi Nabi saw tidak pernah memperingati kematian istrinya dalam bentuk apapun apalagi dengan ritual tahlilan. Semasa Nabi hidup juga pernah ada banyak sahabatnya dan juga pamannya yang meninggal, di antaranya Hamzah, si singa padang pasir yang meninggal dalam perang Uhud. Beliau juga tidak pernah memperingati kematian pamannya dan para sahabatnya. Demikian pula setelah Rasulullah saw wafat, tahlilan atau peringatan hari kematian belum ada pada masa khulafaur Rasyidin. Pada masa Abu Bakar tidak pernah memperingati kematian Rasulullah Muhammad saw.

 Setelah Abu Bakar wafat Umar bin Khaththab sebagai kholifah juga tidak pernah memperingati kematian Rasululah Muhammad saw dan Abu Bakar ra. Singkatnya semua Khulafaur Rasyidin tidak pernah memperingati kematian Rasulullah saw. Dalil aqli atas sejarah tersebut adalah, kalau Rasulullah saw tidak pernah memperingati kematian, para sahabat semuanya tidak pernah ada yang memperingati kematian, berarti peringatan kematian adalah bukan termasuk ajaran Islam, sebab yang menjadi panutan umat Islam adalah Rasulullah saw dan para sahabatnya, bukan? Selain itu, berkaitan dalam masalah tahlil, Muhammadiyah menolaknya dengan dasar dari hadist Rasulullah saw, 
yang artinya Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Apabila manusia telah mati, maka putuslah segala amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat baginya, dan anak saleh yang mendoakannya.” [HR. Muslim]

 Berkaitan dengan hadis tersebut, yang juga digunakan oleh Ulama atau kalangan yang membolehkan tahlilan, Muhammadiyah memandang bahwa hadist itu berbicara tentang mendoakan, bukan mengirim pahala doa dan bacaan ayat-ayat Al Qur'an. Mendoakan orang tua yang sudah meninggal yang beragama Islam memang dituntunkan oleh Islam, tetapi mengirim pahala doa dan bacaan, menurut kepercayaan Muhammadiyah, tidak ada tuntunannya sama sekali. 

Argumentasi kedua: selain dasar sebagaimana sudah disebutkan, Muhammadiyah juga mendasarkan argumentasinya pada al-Qur’an surat an-Najm ayat 39, ath-Thur 21, al-Baqarah 286, al-An’am 164, yang mana dalam ayat-ayat tersebut diterangkan bahwa manusia hanya akan mendapatkan apa yang telah dikerjakannya sendiri.

 Berikut adalah petikan ayat-ayatnya: Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya (Q.S. an-Najm: 39)
 Dan orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka[1426], dan kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya. [QS. ath-Thur (52): 21]

 Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. beri ma'aflah Kami; ampunilah Kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, Maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir." (Q.S. al-Baqarah: 286) 

 Katakanlah: "Apakah Aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan." [QS. al-An’am (6): 164]

 Dalam menjelaskan ayat-ayat tersebut, kalangan yang menolak tahlilan mengutip pendapat madzhab Syafii yang dikutip Imam Nawawi dalam Syarah Muslimnya, di sana dikatakan bahwa bacaan qur'an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) tidak dapat sampai, sebagaimana disebutkan dalam dalam al-Qur’an surat an-Najm ayat 39 di atas. 

Selain itu, juga dikuatkan dengan pendapat Imam Al Haitami dalam Al Fatawa Al Kubra Al Fiqhiyah yang mengatakan: "Mayit tidak boleh dibacakan apapun, berdasarkan keterangan yang mutlak dari ulama mutaqaddimin, bahwa bacaan (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) tidak dapat sampai kepadanya." 

Sedang dalam Al Um Imam Syafi'i menjelaskan bahwa Rasulullah saw memberitakan sebagaimana diberitakan Allah, bahwa dosa seseorang akan menimpa dirinya sendiri, seperti halnya amalnya adalah untuk dirinya sendiri, bukan untuk orang lain dan tidak dapat dikirimkan kepada orang lain. (Al Umm juz 7, hal 269).

 Dasar selanjutnya adalah, perbuatan Nabi yang tidak menyukai ma'tam, yaitu berkumpul (di rumah keluarga mayit), meskipun di situ tidak ada tangisan, karena hal itu malah akan menimbulkan kesedihan baru (Al Umm, juz I, hal 248).

 Juga perkataan Imam Nawawi yang mengatakan bahwa penyediaan hidangan makanan oleh keluarga si mayit dan berkumpulnya orang banyak di situ tidak ada nashnya sama sekali (Al Majmu' Syarah Muhadzab, juz 5 hal 286).

 Sebagaimana sudah menjadi keputusan Tarjih Muhammadiyah dalam masalah ini, bahwa ketika ada yang meninggal yang seharusnya membuat makanan adalah tetangga atau kerabat dekat untuk keluarga si mayit. Dasarnya adalah hadis dari Abdullah bin Ja'far, ia berkata, yang artinya: Setelah datang berita kematian Ja'far, Rasulullah bersabda: "Buatlah makanan untuk keluarga Ja'far, karena telah datang kepada mereka sesuatu yang menyusahkan mereka”. (H.R Tirmidzi dengan sanad hasan).

 Demikianlah pendapat Muhammadiyah dalam masalah tahlil. Penolakannya terhadap tradisi tahlilan talah terang memiliki dasar. Lalu, bagaimana pendapat NU? Dalil-dalil apa yang digunakan oleh Ulama NU sehingga sampai sekarang masih mempertahankan tahlilan? Mari kita kaji bersama-sama. 

Nahdhatul Ulama

Di atas, kita telah tahu pengertian tahlil secara bahasa maupun istilah. Bahwa tahlil, secara bahasa berarti pengucapan kalimat la ilaha illallah. Sedang tahlil secara istilah, sebagaimana ditulis KH M. Irfan Ms, salah seorang tokoh NU, ialah mengesakan Allah dan tidak ada pengabdian yang tulus kecuali hanya kepada Allah, tidak hanya mengkui Allah sebagai Tuhan tetapi juga untuk mengabdi, sebagimana dalam pentafsiran kalimah thayyibah. Pada perkembangannya, tahlil diitilahkan sebagai rangkaian kegiatan doa yang diselenggarakan dalam rangka mendoakan keluarga yang sudah meninggal dunia.

 Sebenarnya tahlil bisa dilakukan sendiri-sendiri, namun kebiasaannya tahlil dilakukan dengan cara berjamaah. Dalam buku Antologi NU diterangkan, sebelum doa dilakukan, dibacakan terlebih dahulu kalimah-kalimah syahadad, hamdalah, takbir, shalawat, tasbih, beberapa ayat suci al-Qur’an dan tidak ketinggalan hailallah (membaca laa ilaaha illahllaah) secara bersama-sama. Biasanya acara tahlil dilaksanakan sejak malam pertama orang meninggal sampai tujuh harinya. 

Lalu dilanjutkan lagi apda hari ke -40, hari ke-100, dan hari ke-1000. Selanjtunya dilakukan setiap tahun dengan nama khol atau haul, yang waktunya tepat pada hari kematiannya. Setelah pembacaan doa biasanya tuan rumah menghidangkan makanan dan minuman kepada para jamaah. Kadang masih ditambah dengan berkat (buah tangan berbentuk makanan matang).

 Pada perkembangannya di beberapa daerah ada yang mengganti berkat, bukan lagi dengan makanan matang, tetapi dengan bahan-bahan makanan, seperti mie, beras, gula, the, telur, dan lain-lain.

 Semua itu diberikan sebagai sedekah, yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal dunia tersebut. Sekaligus sebagai manifestasi rasa dinta yang mendalam baginya. Dalam menjelaskan masalah tahlil, H.M.Cholil Nafis, tokoh pembesar NU, menjelaskan pula sejarah tahlil, sebelum memberikan dasar-dasar dibolehkannya tahlil. Menurutnya, berkumpulnya orang-orang untuk tahlilan pada mulanya ditradisikan oleh Wali Songo (sembilan pejuang Islam di tanah Jawa). 

Seperti yang telah kita ketahui, di antara yang paling berjasa menyebarkan ajaran Islam di Indonesia adalah Wali Songo. Keberhasilan dakwah Wali Songo ini tidak lepas dari cara dakwahnya yang mengedepankan metode kultural atau budaya. 

Wali Songo tidak secara frontal menentang tradisi Hindu yang telah mengakar kuat di masyarakat, namun membiarkan tradisi itu berjalan, hanya saja isinya diganti dengan nilai Islam. Dalam tradisi lama, bila ada orang meninggal, maka sanak famili dan tetangga berkumpul di rumah duka. Mereka bukannya mendoakan mayit tetapi begadang dengan bermain judi atau mabuk-mabukan. 

Wali Songo tidak serta merta membubarkan tradisi tersebut, tetapi masyarakat dibiarkan tetap berkumpul namun acaranya diganti dengan mendoakan pada mayit. Jadi istilah tahlil seperti pengertian di atas tidak dikenal sebelum Wali Songo. Warga NU sampai sekarang tetap mempertahankan tahlil, salah satu tradisi yang dimunculkan pertama kali oleh Walisanga. KH Sahal Mahfud, ulama NU dari Jawa Tengah, berpendapat bahwa acara tahlilan yang sudah mentradisi hendaknya terus dilestarikan sebagai salah satu budaya yang bernilai islami dalam rangka melaksanakan ibadah sosial sekaligus meningkatkan dzikir kepada Allah. Kalau kita tinjau apa yang disampaikan KH Sahal Mahfud, terdapat dua hikmah dilakukannya tahlil, yaitu, pertama, hamblumminannas, dalam rangka melaksanakan ibadah sosial; dan kedua, hablumminallah, dengan meningkatkan dzikir kepada Allah. 

Mari kita lihat perspektif Ulama NU tentang dua hikmah tahlil tersebut. Pertama, bahwa dalam tahlil terdapat aspek ibadah sosial, khususnya tahlil yang dilakukan secara berjamaah. Dalam tahlil, sesama muslil akan berkumpul sehingga tercipta hubungan silaturrahmi di antara mereka. Selain itu, dibagikannya berkat, sedekah berupa makanan atau bahan makanan, juga merupakan bagian dari ibadah sosial. Dalam sebuah hadis dijelaskan, 

yang artinya: Dari Amr bin Abasah, ia berkata, saya mendatangi Rasulullah SAW kemudian saya bertanya, “Wahai Rasul, apakah Islam itu?” Rasulullah SAW menjawab, “Bertutur kata yang baik dan menyuguhkan makanan.” (HR Ahmad) 

 Menurut NU, sebagaimana disampaiakan H.M.Cholil Nafis, memberi jamuan yang biasa diadakan ketika ada orang meninggal, hukumnya boleh (mubah), dan menurut mayoritas ulama bahwa memberi jamuan itu termasuk ibadah yang terpuji dan dianjurkan. 


Sebab, jika dilihat dari segi jamuannya termasuk sedekah yang dianjurkan oleh Islam yang pahalanya dihadiahkan pada orang telah meninggal. Dan lebih dari itu, ada tujuan lain yang ada di balik jamuan tersebut, yaitu ikramud dla`if (menghormati tamu), bersabar menghadapi musibah dan tidak menampakkan rasa susah dan gelisah kepada orang lain. Dalam hadits shahih yang lain disebutkan,


 yang artinya: Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya ada seorang laki-laki bertanya, "Wahai Rasulullah SAW, Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, apakah ada manfaatnya jika akan bersedekah untuknya?" Rasulullah menjawab, "Ya”. Laki-laki itu berkata, “Aku memiliki sebidang kebun, maka aku mempersaksikan kepadamu bahwa aku akan menyedekahkan kebun tersebut atas nama ibuku.” (HR Tirmidzi) 

Pembolehan sedekah untuk mayit juga dikuatkan dengan pendapat Ibnu Qayyim al-Jawziyah yang dengan tegas mengatakan bahwa sebaik-baik amal yang dihadiahkan kepada mayit adalah memerdekakan budak, sedekah, istigfar, doa dan haji. Adapun pahala membaca Al-Qur'an secara sukarela dan pahalanya diberikan kepada mayit, juga akan sampai kepada mayit tersebut.

 Sebagaimana pahala puasa dan haji. Namun demikian, karena memberikan jamuan untuk tamu berupa berkat adalah hukumnya boleh, maka kemampuan ekonomi tetap harus tetap menjadi pertimbangan utama. Tradisi NU dalam memberi jamuan makan untuk tamu tidaklah sesuatu yang wajib. Orang yang tidak mampu secara ekonomi, semestinya tidak memaksakan diri untuk memberikan jamuan dalam acara tahlilan, apalagi sampai berhutang ke sana ke mari atau sampai mengambil harta anak yatim dan ahli waris yang lain, demikian dikatakan KH. Cholil Nafis. 

Semua jamuan dan doa dalam tahlilan pahalanya dihadiahkan kepada mayit. Warga NU percaya bahwa bersedekah untuk mayit, pahalanya akan sampai kepada mayit. Dalam buku Risalah Amaliyah Nahdhiyin disebutkan dikutip sebuah hadis di mana Rasulullah pahala sedekah untuk mayit akan sampai. Dari Aisyah ra.bahwa seorang laki-laki berkata kepada rasulullah SAW. “Sesungguhnya ibuku telah meninggal, dan aku melihatnya seolah-olah dia berkata, bersedekahlah. Apakah baginya pahala jika aku bersedekah untuknya?”. Rasulullah SAW. Bersabda,”ya”. (HR. Muttafaqu ‘alaih)

 Perintah Rasulullah yang senada itu juga dapat ditemukan dalam hadits-hadits yang lain. Bahkan beliau menyebut amalan sedekah sebagai amalan yang tidak akan pernah putus meskipun oranng yang bersedekah itu telah meninggal dunia. Pahala sedekah tidak saja dapat mengalir ketika yang bersangkutan masih hidup, tetapi juga ketika jasad sudah ditiggalkan oleh rohnya. 

Dari Abi Hurairah ra.bahwa rasulullah SAW.
bersabda: 'Tatkala manusia meninggal maka putuslah semua amalnya, kecuali tiga perkara. Yaitu amal Jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang sholeh yang mendoakannya.”
 (HR. Muslim). 

Dalil lain adalah hadits yang dikemukakan oleh Dr. Ahmad as-Syarbashi, guru besar pada Universitas al-Azhar, dalam kitabnya, Yas`aluunaka fid Diini wal Hayaah, sebagaimana dikutip KH. Chilil Nafis, yang artinya sebagai berikut: “Sungguh para ahli fiqh telah berargumentasi atas kiriman pahala ibadah itu dapat sampai kepada orang yang sudah meninggal dunia, dengan hadist bahwa sesungguhnya ada salah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah saw, seraya berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami bersedekah untuk keluarga kami yang sudah mati, kami melakukan haji untuk mereka dan kami berdoa bagi mereka; apakah hal tersebut pahalanya dapat sampai kepada mereka? Rasulullah saw bersabda: Ya! Sungguh pahala dari ibadah itu benar-benar akan sampai kepada mereka dan sesungguhnya mereka itu benar-benar bergembira dengan kiriman pahala tersebut, sebagaimana salah seorang dari kamu sekalian bergembira dengan hadiah apabila hadiah tersebut dikirimkan kepadanya!"

 Jadi, menurut NU, doa dan sedekah yang pahalanya diberikan kepada mayit akan diterima oleh Allah. Argumentasi selanjutnya adalah, bahwa tahlil merupakan sarana hablumminallah, sebab doa-doa atau bacaan-bacaan dalam tahlil merupakan bacaan-bacaan dzikrullah yang mana apa yang dibaca tersebut sesuati dengan sunnah Nabi Muhamamd saw.

 Bahwa ummat Islam diperintahkan, tidak hanya berdoa untuk orang yang masih hidup, tetapi juga untuk orang yang sudah meninggal. 

Allah swt berfirman: Orang-orang yang datang sesudah mereka(Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, “Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu daripada kami.” (QS. Al-Hasyr: 10)

 Dalam ayat lain, Allah berfirman: Maka Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.
 (QS. Muhammad: 19)

 KH M. Irfan Ms pernah mengatakan bahwa tahlil dengan serangkaian bacaannya yang lebih akrab disebut dengan tahlilan tidak hanya berfungsi hanya untuk mendoakan sanak kerabat yang telah meninggal, akan tetapi lebih dari pada itu tahlil dengan serentetan bacaannya mulai dari surat Al-ikhlas, Shalawat, Istighfar, kalimat thayyibah dan seterusnya memiliki makna dan filosofi kehidupan manusia baik yang bertalian dengan i’tiqad Ahlus Sunnah wal jamaah, maupun gambaran prilaku manusia jika ingin memperoleh keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat kelak. Dari susunan bacaannya tahlilan terdiri dari dua unsur, yaitu syarat dan rukun. Bacaan-bacaan yang termasuk syarat tahlil adalah: 
1. Surat al-Ikhlas
 2. Surat al-Falaq 
3. Surat an-Nas 
4. Surat al-Baqarah ayat 1 sampai ayat 5 
المذلكالكتاب 5. Surat al-Baqarah ayat 163
 والهكمإلهواحد 6. Surat al-Baqarah ayat 255
 اللهلاإلهإلاهوالحيالقيوم 7. Surat al-Baqarah ayat dari ayat 284 samai ayat 286
 للهمافيالسموات 8. Surat al-Ahzab ayat 33 إنمايريدالله
9. Surat al-Ahzab ayat 56 إناللهوملائكتهيصلونعلىالنبي
10. Dan sela-sela bacaan antara Shalawat, Istighfar, Tahlil da Tasbih 


 Adapun bacaan yang dimaksud dengan rukun tahlil ialah bacaan: 
1. Surat al-Baqarah ayat 286 pada bacaan :واعفعناواغفرلناوارحمنا
2. Surat al-Hud ayat 73:
 ارحمناياأرحمالراحمين 3. Shalawat Nabi
 4. Istighfar 
5. Kalimat Thayyibah
 لاإلهإلاالله 6. Tasbih Ayat-ayat serta bacaan-bacaan dzikir di atas memiliki keutamaannya masing-masing sebagaimana disebutkan dalam hadis-hadis Nabi saw. 

 Seperti, misalnya sebuah hadis yang mengatakan bahwa “orang yang menyebut “la ilaha illa Allah” akan dikeluarkan dari neraka." 
Dalam rangkaian tahlil biasanya juga membaca surat Yasin secara berjamaah. Perbuatan ini sesuai dengan apa yang diperintahkan Nabi SAW dalam beberapa haditsnya yang secara terang-terangan memerintahkan supaya umat islam membacakan ayat-ayat al-Qur’an untuk orang yang telah meninggal dunia. 

Dari Mu’aqqol ibn Yassar r.a: "barang siapa membaca surat Yasin karena mengharap ridlo Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu, maka bacakanlah surat yasin bagi orang yang mati diantara kamu.” (H.R. Al-Baihaqi, dalam Jami’us Shogir: bab Syu’abul Iman)

 Masih banyak hadis-hadis berkaitan dengan keutamaan surat-surat al-Qur’an serta bacaan-bacaan dzikir dalam serangkaian bacaan tahlil yang akan terlalu panjang jika semuanya ditulis di sini

. Kemudian, tentang dzikir yang dilakukan secara berjamaah, termasuk dalam acara tahlilan, juga masuk perkara ikhtilaf antara NU dan Muhammadiyah. Permasalah ini akan kita bahas pada bab tersendiri. Yang perlu dibahas lebih dalam disini, yang juga menjadi kontroversi Ulama, adalah membaca surat al-Fatiah untuk dihadiahkan kepada mayit. Dalam pembacaan tahlil, setelah jamaah bersama-sama melantunkan shahadat, sebelum dilanjutkan dengan bacaan-bacaan dan doa-doa yang lain, biasanya pemimpin tahlil akan menghadiahi fatihah yang ditujuakan kepada, Nabi Muhammad saw berserta keluarga, para sahabat, kepada orang-orang sholih, dan kepada orang yang meninggal. 

NU berpendapat bahwa membaca surat al-Fatihah yang dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal hukumnya adalah boleh. KH A Nuril Huda, mengutip pendapat Ibnu 'Aqil, salah seorang tokoh besar madzhab Hanbali yang mengatakan: "Disunnahkan menghadiahkan bacaan Al-Qur'an kepada Nabi SAW.” Ibnu 'Abidin telah bertaka sebagaimana tersebut dalam Raddul Muhtar 'Alad-Durral Mukhtar: "Ketika para ulama kita mengatakan boleh bagi seseorang untuk menghadiahkan pahala amalnya untuk orang lain, maka termasuk di dalamnya hadiah kepada Rasulullah SAW.

 Karena beliau lebih berhak mendapatkan dari pada yang lain. Beliaulah yang telah menyelamatkan kita dari kesesatan. Berarti hadiah tersebut termasuk salah satu bentuk terima kasih kita kepadanya dan membalas budi baiknya. Bukankah seorang yang kamil (tinggi derajatnya) memungkinkan untuk bertambah ketinggian derajat dan kesempurnaannya. Dalil sebagian orang yang melarang bahwa perbuatan ini adalah tahshilul hashil (percuma) karena semua amal umatnya otomatis masuk dalam tambahan amal Rasulullah, jawabannya adalah bahwa ini bukanlah masalah. Bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitakan dalam Al-Qur'an bahwa Ia bershalawat terhadap Nabi SAW kemudian Allah memerintahkan kita untuk bershalawat kepada Nabi dengan mengatakan: اَللّهُمَّصَلِّيعَلَىمُحَمَّدٍ “Ya Allah berikanlah rahmat kemuliaan buat Muhammd. Wallahu A’lam.” (lihat dalam Raddul Muhtar 'Alad-Durral Mukhtar, jilid II, hlm. 244)

 Bolehnya menghadiakan al-Fatikhah juga diperkuat dengan pendapat Ibnu Hajar al Haytami dalam Al-Fatawa al-Fiqhiyyah. Juga, Al-Muhaddits Syekh Abdullah al-Ghumari dalam kitabnya Ar-Raddul Muhkam al-Matin, yang mengatakan: "Menurut saya boleh saja seseorang menghadiahkan bacaan Al-Qu'an atau yang lain kepada baginda Nabi SAW, meskipun beliau selalu mendapatkan pahala semua kebaikan yang dilakukan oleh umatnya, karena memang tidak ada yang melarang hal tersebut. Bahwa para sahabat tidak melakukannya, hal ini tidak menunjukkan bahwa itu dilarang. 

Jika hadiah bacaan Al-Qur'an termasuk al-Fatihah diperbolehkan untuk Nabi, maka, menurut Ulama NU, menghadiahkan al-Fatihah untuk para wali dan orang-orang saleh yang jelas-jelas membutuhkan tambahnya ketinggian derajat dan kemuliaan juga dihukumi boleh. Selain hadiah al-Fatihal, hal yang juga menjadi tradisi NU, dan tidak terdapat di Muhammadiyah adalah tradisi Haul. Masalah haul, barangkali tepat untuk sekalian kita angkat di sini, sebab dalam acara haul yang ditradisikan oleh NU dipastikan ada pembacaan tahlil. Haul adalah peringatan kematian yang dialukan setahun sekali, biasanya diadakan untuk memperingati kematian para keluarga yang telah meninggal dunia atau para tokoh. 

Tradisi haul diadakan berdasarkan hadits Rasulullah SAW. Diriwayatkan: Rasulullah berziarah ke makam Syuhada (orang-orang yang mati syahid) dalam perang Uhud dan makam keluarga Baqi’. Beliau mengucap salam dan mendoakan mereka atas amal-amal yang telah mereka kerjakan. (HR. Muslim) 

Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Al-Wakidi disebutkan bahwa: Rasulullah SAW mengunjungi makam para pahlawan perang Uhud setiap tahun. Jika telah sampai di Syi’ib (tempat makam mereka), Rasulullah agak keras berucap: Assalâmu’alaikum bimâ shabartum fani’ma uqbâ ad-dâr. (Semoga kalian selalu mendapat kesejahteraan ats kesabaran yang telah kalian lakukan. Sungguh akhirat adalah tempat yang paling nikmat). Abu Bakar, Umar dan Utsman juga malakukan hal yang serupa. (Dalam Najh al-Balâghah). 


Para ulama menyatakan, peringatan haul tidak dilarang oleh agama, bahkan dianjurkan. Ibnu Hajar dalam Fatâwa al-Kubrâ Juz II, sebagaimana dikutip A. Khoirul Anam dalam artikelnya, menjelaskan, para Sahabat dan Ulama tidak ada yang melarang peringatan haul sepanjang tidak ada yang meratapi mayyit atau ahli kubur sambil menangis.

Peringatan haul yang diadakan secara bersama-sama menjadi penting bagi umat Islam untuk bersilaturrahim satu sama-lain; berdoa sembari memantapkan diri untuk menyontoh segala teladan dari para pendahulu; juga menjadi forum penting untuk menyampaikan nasihat-nasihat keagamaan. Demikianlah pendapat NU mengenai tahlil, yang intinya tahlil tidak bertentangan dengan syariat. Karena dengan seseorang mengikuti tahlilan, baik sendiri-sendiri, berjamaah, dalam acara haul atau tidak, maka mereka menjadi berdzikir dengan mengalunkan kalimah syahadah, juga membaca ayat suci al-Qur’an serta bacaan dzikir yang lain, yang semua itu tidak lain sebagai cara istighatsah kepada Allah agar doanya diterima untuk mayit.

HUKUM MEMBACA KALIMAT TAHLIL DAN MANFAAT MEMBACA SURAT YASIN

Hukum Membaca Kalimat TAHLILAN

Kata Tahlilan berasal dari bahasa Arab tahliil (تَهْلِيْلٌ) dari akar kata:
هَلَّلَيُهَلِّلُتَهْلِيْلا
yang berarti mengucapkan kalimat: لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ . Kata tahlil dengan pengertian ini telah muncul dan ada di masa Rasulullah SAW., sebagaimana dalam sabda beliau:

عَنْ أَبِي ذَرٍّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى .رواه مسلم
“ Dari Abu Dzar radliallahu 'anhu, dari Nabi SAW., sesungguhnya beliau bersabda: "Bahwasanya pada setiap tulang sendi kalian ada sedekah. Setiap bacaan tasbih itu adalah sedekah, setiap bacaan tahmid itu adalah sedekah, setiap bacaan TAHLIL itu adalah sedekah, setiap bacaan takbir itu adalah sedekah, dan amar ma’ruf nahi munkar itu adalah sedekah, dan mencukupi semua itu dua rakaat yang dilakukan seseorang dari sholat Dluha.” (Hadits riwayat Muslim).

Karena hadits ini adalah perktaan rasulullah sendir, maka dipastikan pada masa itu telah ada TAHLIL, TASBIH, TAHMID DAN diantara BACAAN TAHLIL ADALAH AYAT-AYAT QURAN .

Jika apa-apa yang pernah diperbolehkan dan diajarkan 0leh Rasul SAW. dianggap bid'ah, apalagi bid'ah sayyi'ah, terus apakah kita akan mengikuti orang yang melarang hal tersebut, padahal mereka ilmunya masih (maaf) sangat sempit... Allahu a'lam. Kalau yang melarang itu mengaku cinta nabi SAW., dan mengaku sebagai umatnya, maka itu adalah suatu KEBOHONGAN YANG SANGAT BESAR.

mengenai Surat Yasin.

Sabda Rosuululloh SAW
Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: "Rasulullah SAW. bersabda: "Barangsiapa membaca surat Yasin di malam hari, maka paginya ia mendapat pengampunan, dan barangsiapa membaca surat Hamim yang didalamnya diterangkan masalah Ad-Dukhaan (Surat Ad-Dukhaan), maka paginya ia mendapat mengampunan". (Hadits riwayat: Abu Ya'la). Sanadnya baik. (Lihat tafsir Ibnu Katsir dalam tafsir Surat Yaasiin)

Rosululloh SAW juga bersabda,
Dari Ma'qil bin Yasaar ra., ia berkata: Nabi SAW. bersabda: "Bacalah Surat Yaasiin atas orang mati kalian" (Hadits riwayat: Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Sabda Rosululloh SAW,
Artinya“ Dari Ma'qil bin Yasaar ra., sesungguhnya Rasulullah SAW. bersabda: Surat Al-Baqarah adalah puncak Al-Qur'an, 80 malaikat menyertai diturunkannya setiap ayat dari surat ini. Dan Ayat laa ilaaha illaa Huwa Al-Hayyu Al-Qayyuumu (Ayat Kursi) dikeluarkan lewat bawah 'Arsy, kemudian dimasukkan ke dalam bagian Surat Al-Baqarah. Dan Surat Yaasiin adalah jantung Al-Qur'an, seseorang tidak membacanya untuk mengharapkan Allah Tabaaraka wa Ta'aalaa dan Hari Akhir (Hari Kiamat), kecuali ia diampuni dosa-dosanya. Dan bacalah Surat Yaasiin pada orang-orang mati kalian".
(Hadits riwayat: Ahmad)

Al-Syaukani berkata dalam al-Fawaid al- Majmu’ah sebagai berikut:
"Hadits, "Barangsiapa membaca surat Yasin karena mencari ridha Allah, maka Allah akan mengampuninya diriwyatkan oleh al-Baihaqi dari Abu Humairah secara marfu’ dan sanadnya sesuai dengan kriteria hadits shahih. Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dan al- Khathib. Sehingga tidak ada alasan merryebut hadits tersebut dalam kitab-kitab al-Maudhu’at (tidak benar menganggapnya sebagai hadits maudhu’)." (Al-Syaukani, al-Fawaid al- Majmu’ah fi al-Ahadits al-Maudhu’ah, haL 302-303).

Sering kita dengar terjadi pro dan kontra tentang tahlilan dalam agama islam. Banyak yang setuju,dan banyak pula yang menganggapnya sebagai suatu ibadah yang dibuat-buat dan dianggap sebagai suatu bid'ah.
akan tetapi menurut saya tahlilan adalah sebuah budaya yang sangat dinamis dan dari sudut pandang antropologis, sangat menarik.
Dia tak hanya menjadi perekat sosial, tapi juga mempersatukan elemen masyarakat yang terpisah dalam kompartemen ideologi dan keyakinan.Tahlilan berasal dari bahasa Arab “tahlil” yang berarti “ekspresi kesenangan” atau “ekspresi keriangan.” Kata itu bisa juga berarti “pengucapan la ilaha illallah.” Dalam upacara Tahlil, puji-pujian terhadap Tuhan memang menjadi fokus utama. Biasanya dilakukan lewat bacaan ayat-ayat dan doa-doa tertentu. Surat Yasin menjadi bacaan utama, diiringi dengan Ayat Kursi dan lantunan tasbih (pensucian),tahmid(puji-pujian) dan istighfar (mohon ampunan).Drama Kematian. Dalam tradisi NU, Tahlilan biasanya dilakukan di samping makam dengan membangun tenda atau di rumah orang yang meninggal. Biasanya, upacara Tahlilan dilakukan pada bilangan hari tertentu, misalnya 7 hari, 40 hari, atau 100 hari. Upacara Tahlilan biasanya dilakukan setiap malam selama 7 hari berturut-turut. Ada pula yang melakukannya selama 40 malam berturut-turut.
Saya tidak tahu pasti mengapa jumlah hari-hari itu yang dijadikan patokan. Tapi saya menduga bahwa rujukan angka-angka tersebut terkait erat dengan cerita-cerita eskatologis yang mengisahkan kondisi orang yang meninggal, misalnya bahwa arwah seseorang akan meninggalkan rumahnya pada hari ke-7 atau pada hari ke-40 sejak ia meninggal.
NU dan kaum Muslim tradisional secara umum sangat meyakini drama perjalanan kematian. Ketika seorang manusia meninggal, fase pertama yang harus dilewatinya adalah sebuah ujian di liang kubur di mana Malaikat akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan standar seperti man rabbuka? (siapa tuhanmu), man nabiyyuka? (siapa nabimu), ma dinuka? (apa agamamu), dan seterusnya.

Tahap alam kubur ini sangat penting bagi seseorang untuk melewati fase-fase berikutnya, sebelum akhirnya digiring ke Padang Mahsyar. Dia dan manusia lainnya, diperintah untuk melewati “jembatan lurus” (sirathal mustaqim). Jangan bayangkan Suramadu, karena jembatan ini sangat tipis, sehingga ada sebuah riwayat mengatakan bahwa ketebalannya seukuran rambut dibelah tujuh.
Jembatan itu menghampar begitu panjangnya di atas bara api yang suhunya melebihi permukaan Matahari. Itulah Neraka Jahanam. Tidak banyak orang yang bisa selamat melewati jembatan supermini namun panjang itu. Tapi, seperti diriwayatkan sebuah hadis, mereka yang punya amal saleh yang cukup akan dengan mudah melewati sirathal mustaqim untuk kemudian masuk ke surga yang nikmat (jannatun naim). Tapi mereka yang banyak dosa akan terjerambab ke dalam Neraka Jahanam.
Dengan latar belakang perjalanan kematian yang begitu menegangkan, warga NU dan kaum Muslim tradisional mencoba memperingan perjalanan orang yang meninggal, yakni dengan cara memberi bantuan amal saleh berupa bacaan-bacaan dan doa-doa dalam Tahlilan. Dengan kata lain, Tahlilan adalah upaya untuk memperingan perjalanan orang yang meninggal menuju persinggahan terakhir.
Subkultur Islam. Tentu tidak semua umat Islam meyakini kisah dramatis perjalanan kematian seperti di atas. Kalaupun meyakini, mereka tidak percaya bahwa orang yang hidup bisa membantu orang yang sudah mati. Kaum Wahabi percaya bahwa amal perbuatan seseorang akan terputus ketika ia meninggal. Tidak ada orang di dunia yang mampu menyelamatkan atau membantunya di akhirat sana.
Namun, terlepas dari perdebatan yang tak mungkin bisa dibuktikan itu (karena kita harus meninggal dulu untuk membuktikannya), Tahlilan adalah sebuah budaya yang sangat dinamis dan dari sudut pandang antropologis, sangat menarik. Dia tak hanya menjadi perekat sosial, tapi juga mempersatukan elemen masyarakat yang terpisah dalam kompartemen ideologi dan keyakinan.
saya tidak melihat sama sekali hal-hal yang dikhawatirkan kaum Wahabi, yakni bahwa acara semacam ini bisa membuat orang menjadi syirik (menduakan Tuhan) atau bid’ah (mengada-ada). Yang saya saksikan adalah sebuah subkultur Islam yang sangat menarik yang bisa menjadi kohesi bagi masyarakat kota yang kerap terlena dalam kesibukan masing-masing.

 mungkin pendapat saya berbeda dengan anda,akan tetapi yang jelas semua amalan diawali dengan niat yang baik.

http://rasyid-ic.blogspot.com/2011/06/filosofi-tahlil.html
Share this article :
+
0 Komentar untuk " Referensi tahlillan "

Powered by Blogger.

Komentar

Paling Dilihat