http://Delima821.blogspot.com
Diceritakan pada zaman dahulu di
negeri
Semeulue, tersebutlah
seorang raja yang kaya-raya. Raja itu
sangat disenangi oleh rakyatnya,
karena kedermawanannya. Namun,
ia tidak memiliki anak setelah
sepuluh tahun menikah dengan
permaisurinya. Oleh karena sudah
tidak
tahan
lagi
ingin
punya
keturunan, Raja itu pun pergi
bersama permaisurinya ke hulu
sungai yang airnya sangat dingin
untuk berlimau dan bernazar, agar
dikaruniai seorang anak yang kelak
akan mewarisi tahta kerajaan.
Tempat yang akan dituju itu berada
sangat jauh dari keramaian. Untuk
menuju ke sana, mereka
harus
menyusuri
hutan
belantara,
menyeberangi sungai-sungai, serta
mendaki dan menuruni gunung. Mereka pun berangkat dengan membawa bekal secukupnya.
Setiba kedua suami-istri disana, mereka mulai melaksanakan maksud dari kedatangan mereka.
Setelah sehari-semalam berlimau dan bernazar, mereka pun kembali ke istana. Setelah
menunggu berhari-hari dan berminggu-minggu, akhirnya doa mereka terkabul. Permaisuri
diketahui telah mengandung satu bulan. Delapan bulan kemudian, Permaisuri pun melahirkan
seorang anak laki-laki, dan diberinya nama Rohib. Raja sangat gembira menyambut kelahiran
putranya itu, yang selama ini diidam-idamkannya. Raja kemudian memukul beduk untuk
memberitahukan kepada seluruh rakyatnya agar berkumpul di pendopo istana. Selanjutnya,
Raja menyampaikan bahwa ia hendak mengadakan selamatan sebagai tanda syukur atas
rahmat Tuhan yang telah menganugerahinya anak. Keesokan harinya, selamatan pun
dilangsungkan sangat meriah dengan berbagai macam pertunjukan.
Raja dan permaisuri mendidik dan membesarkan putra mereka dengan penuh kasih sayang.
Mereka sangat memanjakannya, sehingga anak itu tumbuh menjadi anak yang sangat manja.
Waktu terus berlalu, Rohib pun bertambah besar. Rohib kemudian dikirim oleh orang tuanya
ke kota untuk belajar di sebuah perguruan. Sebelum berangkat, Rohib mendapat pesan dari
ayahnya agar belajar dengan tekun. Setelah itu, ia pun berpamitan kepada orang tuanya. Sudah
beberapa tahun Rohib belajar, Rohib belum juga mampu menyelesaikana pelajarannya karena
sudah terbiasa manja. Ayahnya menjadi sangat marah kepadanya, bahkan ingin
menghukumnya, ketika ia kembali ke istana.
“Hai, Rohib! Anak macam apa kamu! Dasar anak keras kepala! Sudah tidak mau mendengar
nasihat orang tua. Pengawal! Gantung anak ini sampai mati!” perintah sang Raja.
Mendengar perintah suaminya kepada pengawal, Permaisuri pun segera bersujud di hadapan
suaminya.
“Ampun, Kakanda! Rohib adalah anak kita satu-satunya. Adinda mohon, Rohib jangan dihukum
mati. Berilah ia hukuman lainnya!” pinta sang Permaisuri kepada suaminya.
“Tapi, Kanda sudah muak melihat muka anak ini!” jawab sang Raja dengan geramnya.
“Bagaimana kalau kita usir saja dia dari istana ini? Tapi dengan syarat, Kakanda bersedia
memberinya uang sebagai modal untuk berdagang,” usul sang Permaisuri.
“Baiklah, Dinda! Usulan Dinda aku terima. Tapi dengan syarat, uang yang aku berikan kepada
Rohib tidak boleh ia habiskan kecuali untuk berdagang,” jawab sang Raja.
“Bagaimana pendapatmu, Anakku?” Permaisuri balik bertanya kepada Rohib.
“Baiklah, Bunda! Rohib bersediah memenuhi syarat itu. Terima kasih, Bunda!” jawab Rohib.
“Jika kamu melanggar lagi, maka tidak ada ampun bagimu, Rohib!” tambah Raja menegaskan
kepada putranya itu.
Setelah itu, Rohib berpamitan kepada orang tuanya untuk pergi berdagang. Ia pergi dari satu
kampung ke kampung dengan menyusuri hutan belantara. Di tengah perjalanan, ia bertemu
dengan anak-anak kampung yang sedang menembak burung dengan ketapel.
“Wahai, Saudara-saudaraku! Janganlah kalian menganiaya burung itu, karena burung itu tidak
berdosa.” tegur si Rohib kepada anak-anak itu.
“Hei, kamu siapa? Berani-beraninya kamu melarang kami,” bantah salah seorang dari anak
anak kampung itu.
“Jika kalian berhenti menembaki burung itu, aku akan memberi kalian uang,” tawar Rohib.
Anak-anak kampung itu menerima tawaran Rohib.
Setelah memberikan uang kepada mereka, Rohib pun melanjutkan perjalanannya. Belum jauh
berjalan, ia menemukan lagi orang-orang kampung yang sedang memukuli seekor ular. Rohib
tidak tega melihat perbuatan mereka tersebut. Ia kemudian memberikan uang kepada orang-
orang tersebut agar berhenti menganiaya ular itu. Setelah itu, ia melanjutkan lagi
perjalanannya menyusuri hutan lebat menuju ke sebuah perkampungan.
Demikian seterusnya, selama dalam perjalanannya, ia selalu memberi uang kepada orang-
orang yang menganiaya binatang, sehingga tanpa disadarinya uang yang seharusnya dijadikan
modal berdagang sudah habis. Setelah sadar, ia pun mulai gelisah dan berpikir bagaimana jika
ia pulang ke istana. Tentu ayahnya akan sangat marah dan akan menghukumnya. Apalagi ia
telah dua kali melakukan kesalahan besar, pasti ayahnya tidak akan mengampuninya lagi. Oleh
karena kelelahan seharian berjalan, ia pun memutuskan untuk beristirahat di bawah sebuah
pohon yang rindang. Ia kemudian duduk di atas sebuah batu besar yang ada di bawah pohon
itu sambil menangis tersedu-sedu. Pada saat itu, tiba-tiba seekor ular besar mendekatinya.
Rohib sangat ketakutan, mengira dirinya akan dimangsa ular itu.
“Jangan takut, Anak muda! Saya tidak akan memakanmu,” kata ular itu. Melihat ular itu dapat
berbicara, rasa takut Rohib pun mulai hilang.
“Hai, Ular besar! Kamu siapa? Kenapa kamu bisa berbicara?” tanya si Rohib mulai akrab.
“Aku adalah Raja Ular di hutan ini,” jawab ular itu.
“Kamu sendiri siapa? Kenapa kamu bersedih?” ular itu balik bertanya kepada si Rohib.
“Aku adalah si Rohib,” jawab Rohib, lalu menceritakan semua masalahnya dan semua kejadian
yang telah dialami selama dalam perjalanannya.
“Kamu adalah anak yang baik, Hib,” kata Ular itu dengan akrabnya.
http://agathanicole.blogspot.com |Batu Mustika Bertuah
“Karena kamu telah melindungi hewan-hewan di hutan ini dari orang-orang kampung yang
menganiayanya, aku akan memberimu hadiah sebagai tanda terima kasihku,” tambah ular itu
lalu kemudian mengeluarkan sesuatu dari mulutnya.
“Benda apa itu?” tanya si Rohib penasaran.
“Benda itu adalah benda yang sangat ajaib. Apapun yang kamu minta, pasti akan dikabulkan.
Namanya Batu Mustika Betuah,” jelas Ular itu, lalu pergi meninggalkan si Rohib.
Sementara itu, Rohib masih asyik mengamati Batu Mustika Betuah itu.
“Waw, hebat sekali benda ini.Berarti benda ini bisa menolongku dari kemurkaan ayah,” gumam
Rohib dengan perasaan gembira. Berbekal Batu Mustika Betuah itu, Rohib memberanikan diri
kembali ke istana untuk menghadap kepada ayahnya. Namun, sebelum sampai di istana,
terlebih dahulu ia memohon kepada Batu Mustika Betuah agar memberinya uang yang banyak
untuk menggantikan modalnya yang telah dibagi-bagikan kepada orang-orang kampung, dan
keuntungan dari hasil dagangannya. Ayahnya pun sangat senang menyambut putranya yang
telah membawa uang yang banyak dari hasil dagangannya.
Akhirnya, Rohib diterima kembali oleh ayahnya dan terbebas dari ancaman hukuman mati.
Semua itu berkat pertolongan Batu Mustika Betuah, pemberian ular itu. Setelah itu, Rohib
berpikir bagaimana cara untuk menyimpan Batu Mustika Betuah itu agar tidak hilang.
Suatu hari, ia menemukan sebuah cara,
yaitu ia hendak menempanya menjadi
sebuah cincin.
Lalu
dibawanya
Batu
Mustika Betuahitu kepada seorang tukang
emas. Namun tanpa disangkanya, tukang
emas itu menipunya dengan membawa
lari Batu Mustika Betuah itu. Oleh karena
Rohib sudah bersahabat dengan hewan-
hewan, ia pun meminta bantuan kepada
mereka. Tikus, kucing dan anjing
pun
bersedia
menolongnya.
Anjing
dengan indera penciumannya, berhasil
menemukan jejak si tukang emas, yang
telah melarikan diri ke seberang sungai.
Kini, giliran si Kucing dan si Tikus untuk
mencari cara bagaimana cara mengambil
cincin itu yang disimpan di dalam mulut
tukang emas.
Pada tengah malam, si Tikus memasukkan ekornya ke dalam lubang hidung si Tukang Emas
yang sedang tertidur. Tak berapa lama, Tukang Emas itu bersin, sehingga Batu Mustika Betuah
terlempar keluar dari mulutnya. Pada saat itulah, si Tikus segera mengambil Batu Mustika
Betuah itu. Namun, ketika Batu Mustika Betuah akan dikembalikan kepada Rohib, si Tikus
menipu kedua temannya dengan mengatakan bahwa Batu Mustika Betuah terjatuh ke dalam
sungai. Padahal sebenarnya Batu Mustika Betuah itu ada di dalam mulutnya. Pada saat kedua
temannya mencari benda itu ke dasar sungai, ia segera menghadap kepada si Rohib. Dengan
demikian, si Tikuslah yang dianggap sebagai pahlawan dalam hal ini. Sementara, si Kucing dan
si Anjing merasa sangat bersalah, karena tidak berhasil membawa Batu Mustika Betuah.
Ketika diketahui bahwa si Rohib telah menemukan Batu Mustika Betuahnya, yang dibawa oleh
si Tikus, maka tahulah si Kucing dan si Anjing bahwa si Tikus telah melakukan kelicikan. Si anjing
dan kucingpun mengejar dan memburu si tikus tapi dengan kelihaian si Tikus selalu berhasil
lolos dari kejaran si anjing dan kucing serta bersembunyi di lubang-lubang tanah yang tidak
dapat dijangkau oleh si anjing dan kucing, menurut masyarakat Simeulue Aceh,bahwa berawal
dari kisah inilah mengapa tikus sangat dibenci oleh anjing dan kucing hingga saat ini.
BANTA SEUDANG
http://Delima821.blogspot.com
Pada jaman dahulu kala, di Negeri
Nanggroe
Aceh
Darussalam,
Indonesia, hiduplah seorang Raja
yang adil dan bijaksana. Sang Raja
mempunyai
seorang
permaisuri
yang sedang hamil tua. Suatu ketika,
sang Raja pergi berburu binatang ke
hutan. Ketika itulah permaisurinya
melahirkan seorang anak laki-laki
yang tampan di istana, dan diberinya
nama Banta Seudang. Namun,
malang nasib bagi sang Raja, karena
ia tidak bisa melihat wajah tampan
putranya. Kedua matanya buta
terkena ranting kayu saat berburu di
hutan. Sejak saat itu, ia tidak dapat
melaksanakan tugas-tugas kerajaan
lagi.
Oleh karena Banta Seudang masih bayi, maka tahta kerajaan ia serahkan untuk sementara
kepada adik kandungnya. Namun, sang Adik yang baru diangkat menjadi raja itu sangat licik
dan serakah. Ia membuatkan sebuah rumah agak jauh dari istana untuk tempat tinggal
kakaknya bersama istri dan Banta Seudang. Raja baru itu setiap hari mengirim bantuan
makanan untuk kebutuhan sehari-hari sang Kakak bersama keluarganya.
Waktu terus berjalan. Banta Seudang tumbuh menjadi remaja yang tampan. Ia pun mulai
bertanya-tanya kepada ibunya tentang siapa yang memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-
hari, padahal ayahnya buta.
“Maaf, Ibu! Bolehkah aku bertanya sesuatu kepada Ibu,” kata Banta.
“Ada apa, Anakku? Katakanlah!” seru sang Ibu.
“Dari mana kita mendapat makanan setiap hari, padahal Ayah tidak pernah bekerja?” Tanya
Banta ingin tahu.
“Ketahuilah, Anakku! Kebutuhan hidup sehari-hari kita dibantu oleh Pakcikmu yang kini
menjadi Raja,” jawab ibunya.
“Pakcik baik hati sekali ya Bu,” kata Banta.
“Iya, Anakku!” jawab sang Ibu sambil tersenyum seraya membelai-belai rambut si Banta.
Pada suatu hari, sang Ibu bersama Banta Seudang pergi menghadap sang Raja. Di hadapan Raja,
sang Ibu memohon kepada Raja untuk membantu Banta Seudang agar bisa bersekolah. Namun,
permohonan sang Ibu ditolak oleh sang Raja.
“Dasar kalian tidak tahu diri! Dikasih sedepa minta sejengkal pula. Bukankah semua kebutuhan
hidup sehari-hari kalian telah aku penuhi!” bentak sang Raja.
Alangkah sedihnya hati sang Ibu mendengar bentakan itu. Ia pun mengajak Banta kembali ke
rumah. Sesampainya di rumah, Banta Seudang berusaha menenangkan hati ibunya.
“Sudahlah, Bu! Ibu tidak usah bersedih begitu. Kita seharusnya bersyukur karena Pakcik sudah
banyak membantu kita,” bujuk si Banta.
“Banta! Kamu memang Anakku yang baik. Tapi, kamu harus sekolah seperti teman-teman
sebayamu,” kata sang Ibu.
Mendengar perkataan itu, si Banta tiba-tiba berpikir bahwa apa yang dikatakan ibunya itu
benar. Maka timbullah pikirannya untuk mencari obat mata untuk ayahnya. Jika kelak ayahnya
bisa melihat lagi, tentu sang Ayah bisa mencari nafkah sendiri dan dapat membantu biaya
sekolahnya.
Pada suatu hari, Banta Seudang menyampaikan niatnya kepada ibunya.
“Bu, Banta ingin pergi mencari obat mata untuk Ayah agar dapat kembali bekerja seperti
biasanya dan Banta pun bisa sekolah,” ungkap Banta Seudang.
“Baiklah, Anakku! Ibu merestuimu. Pergilah mencari obat mata untuk Ayahmu. Ibu doakan
semoga kamu berhasil,” kata sang Ibu.
Sang Ibu pun menyampaikan maksud Banta tersebut kepada ayah Banta. Dengan senang hati,
sang Ayah pun merestui perjalanan Banta mencari obat.
Keesokan harinya, dengan bekal seperlunya, berangkatlah Banta Seudang untuk mencari obat.
Iaberjalan seorang diri menyusuri hutan belantara, menyeberangi sungai, menaiki gunung, dan
menuruni lembah-lembah. Setelah berbulan-bulan berjalan, ia pun tiba di sebuah hutan rimba
yang dipenuhi oleh pohon-pohon besar. Di tengah hutan itu, ia menemukan sebuah balai. Ia
pun memutuskan untuk melepas lelah di balai itu. Ketika sedang merebahkan tubuhnya, tiba-
tiba hatinya bertanya-tanya.
‘Kenapa ada balai di tengah hutan ini? Wah, pasti ada orang yang tinggal di sekitar sini,” pikirnya
dalam hati. Ternyata benar. Menjelang waktu Ashar, tiba-tiba beberapa orang berjubah putih
datang ke balai itu. Mereka lalu melakukan shalat secara berjamaah. Dengan hati bertanya-
tanya, Banta hanya diam sambil memerhatikan perilaku orang-orang tersebut. Beberapa saat
kemudian, Banta tiba-tiba melihat sebuah peristiwa ajaib. Begitu selesai shalat, orang-orang
yang berjubah putih tersebut tiba-tiba menghilang dari pandangan matanya. Rupanya, Banta
tidak tahu bahwa mereka itu adalah arwah-arwah para Aulia (Wali) Allah.
Setelah menyaksikan peristiwa itu, Banta kemudian berpikir akan mendekati imamnya ketika
para Wali tersebut melaksanakan shalat.
“Jika mereka selesai shalat, aku akan langsung memegang tangan sang Imam agar tidak
menghilang,” pikirnya. Banta Seudang pun tinggal di balai itu menunggu kedatangan para Wali.
Ketika waktu shalat Magrib tiba, para Wali tersebut datang untuk melaksanakan shalat. Banta
Seudang pun segera duduk di samping imam. Begitu imam selesai shalat, ia langsung
memegang tangannya.
“Hai, Anak Muda! Kenapa kamu memegang tanganku?” tanya imam itu.
‘Maaf, Tuan! Saya memegang tangan Tuan supaya tidak menghilang,” jawab Banta.
“Kalau saya boleh bertanya, siapakah Tuan-tuan ini sebenarnya? Kenapa Tuan-tuan bisa tiba-
tiba muncul dan menghilang begitu saja?” tanya Banta heran.
“Kami adalah para Aulia Allah,” jawab imam itu.
“Engkau sendiri siapa? Kenapa bisa berada di tempat ini?” imam itu balik bertanya kepada
Banta.
“Saya Banta Seudang, Tuan! Saya hendak mencari obat mata untuk Ayah saya,” jawab Banta.
‘Memang kenapa mata Ayahmu?” tanya imam itu.
http://agathanicole.blogspot.com |Banta Seudang
“Mata ayah saya buta, Tuan! Saya ingin agar mata Ayah saya bisa melihat lagi,” jawab Banta.
“Engkau adalah anak yang berbakti. Baiklah kalau begitu, kamu tunggu di sini saja. Nanti akan
datang gajah putih ke balai ini. Ikuti gajah putih itu ke mana pun pergi,” ujar sang Imam dan
langsung menghilang. Betapa senang hati Banta Seudang mendapat petunjuk dari Wali itu.
Tidak berapa lama ia menunggu, tiba-tiba datanglah seekor gajah putih ke balai itu. Setelah
mendapat isyarat dari gajah itu, Banta pun segera naik ke atas punggung gajah. Sang gajah
berjalan menyusuri hutanbelantara menuju ke sebuah lembah di mana terdapat sebuah sungai
yang sangat jernih airnya.
Di pinggir sungai terdapat sebuah pohon besar yang dihuni oleh Jin Pari yang memiliki baju
terbang. Melihat kedatangan Banta bersama gajah putih itu, Jin Pari pun segera menyambut
mereka.
“Jangan takut, Anak Muda! Aku sudah tahu maksud kedatanganmukemari. Kamu ingin mencari
obat mata untuk Ayahmu bukan?” tanya Jin Pari kepada Banta.
“Benar, Jin Pari!” jawab Banta.
“Baiklah kalau begitu. Aku tahu cara untuk menyembuhkan mata Ayahmu. Di tengah sungai itu,
terdapat sebuah bunga ajaib, namanya bunga bangkawali,” ungkap Jin Pari.
“Bagaimana saya bisa mendapatkannya, Jin?” tanya Banta bingung. Jin Pari pun bercerita
kepada Banta Seudang bahwa setiap jumat ada tujuh putri raja dari negeri lain datang ke sungai
itu untuk mandi-mandi. Untuk menjaga sungai itu, raja negeri lain menugaskan seorang
perempuan tua bernama Mak Toyo. Ia tinggal di sekitar sungai itu. Setiap kali ketujuh putri raja
selesai mandi di sungai itu, Mak Toyo turun ke sungai untuk menepuk air tiga kali.
Setelah itu bunga ajaib ‘bangkawali’ akan muncul di atas permukaan air. Oleh karena itu, Banta
harus meminta bantuan Mak Toyo untuk mendapatkan bunga ajaib itu. Pada suatu malam, Jin
Pari bersama Banta Seudang mendatangi tempat tinggal Mak Toyo. Perempuan penjaga sungai
itu pun bersedia membantu Banta mendapatkan bunga bangkawali itu, tapi dengan satu syarat.
“Cucuku, jika ingin mendapatkan bunga bangkawali itu, kamu harus mengambilnya sendiri
dengan berenang ke tengah sungai itu,” ujar Mak Toyo kepada Banta.
Setelah mendapat penjelasan dari Mak Toyo, Jin Pari dan Banta pun mohon diri. Untuk
melaksanakan syarat Mak Toyo, Banta harus menunggu hingga hari jumat. Maka ketika hari
jumat tiba, ketujuh putri raja yang cantik-cantik tersebut datang dengan baju terbang mereka
hendak mandi di sungai. Usai berganti pakaian, mereka lalu turun ke sungai dan berenang
sambil tertawa bersuka ria.
Ketika hari menjelang sore, ketujuh putri raja selesai mandi. Mereka pun segera mengenakan
baju terbang masing-masing lalu terbang ke angkasa. Setelah mereka pergi, Mak Toyo segera
turun ke sungai lalu menepuk air tiga kali. Setelah itu, muncullah bunga bangkawali di atas
permukaan air sungai. Banta Seudang pun segera terjun ke dalam sungai. Dengan susah payah,
ia berenang ke tengah sungai untuk mengambil bunga bangkawali tersebut dan kemudian
kembali ke tepi sungai.
“Mak Toyo! Aku sudah mendapatkan bunga bangkawali. Terima atas kebaikan, Mak!” ucap
Banta Seudang.
“Ya, sama-sama. Segeralah bawa bunga ajaib itu untuk ayahmu!” kata Mak Toyo.
Keesokan hari, Banta Seudang berpamitan kepada Mak Toyo dan Jin Pari. Namun karena
mengetahui perjalanan yang akan ditempuh Banta Seudang sangat jauh dan membutuhkan
waktu
yang cukup lama, maka Maka Toyo dan Jin Pari pun bersepakat untuk mengantar Banta
Seudang. Jin Pari dan Banta Seudang terbang dengan menggunakan baju terbang, sedangkan
Mak Toyo menunggangg gajah putih. Dalam waktu sehari, mereka pun tiba di negeri Banta
Seudang ketikahari mulai sudah gelap. Banta Seudang yang melihat rumahnya sepi dan tampak
gelap, segera berteriak memanggil ibunya.
“Ibu.. Ibu! Banta sudah pulang membawa obat mata untuk ayah!” teriak Banta Seudang dari
depan rumahnya.
“Ya, masuklah anakku! Ibu sedang sibuk memperbaiki lampu minyak,” teriak sang Ibu. Banta
Seudang pun masuk ke dalam rumah bersama Mak Toyo dan Jin Pari.
“Kenapa gelap begini? Di mana lampu minyaknya, Bu?” tanya Banta.
“Lampunya kehabisan minyak. Ibu baru mengisinya,” jawab sang Ibu.
Beberapa saat kemudian, lampu minyak itu pun menyala. Sang Ibu segera memeluk Banta
Seudang karena sudah lama sekali merindukannya. Banta Seudang pun memperkenalkan Mak
Toyo dan Jin Pari kepada kedua orangtuanya.
“Bu, ini Mak Toyo dan Jin Pari. Merekalah yang telah membantu Banta mendapatkan obat mata
untuk ayah,” jelas Banta Seudang. Ibu Banta Seudang pun tidak lupa berterima kasih kepada
Mak Toyo dan Jin Pari yang telah membantu Banta Seudang.
“Bagaimana keadaan ayah dan Ibu selama Banta pergi?” Banta Seudang kembali bertanya.
Mendengar pertanyaan Banta, sang ibu terdiam sejenak. Dengan wajah sedih, sang Ibu
kemudian bercerita bahwa selama kepergian Banta Seudang, Pakciknya tidak pernah lagi
membantu mereka. Terpaksalah sang ibu harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan
mereka. Betapa sedih dan terharunya Banta Seudang mendengar cerita ibunya.
“Benar, anakku! Pakcikmu memang sungguh keterlaluan dan tidak tahu diri. Sejak kamu pergi,
dia tidak pernah lagi memberi kami makanan. Seandainya Ayah tidak buta begini, Ayah pasti
sudah menghajarnya,” sahut sang Ayah dengan geram.
“Sabar, Ayah! Banta membawakan obat mata untuk Ayah,” kata Banta menenangkan hati sang
ayah. Setelah keadaan tenang, Banta Seudang segera mengambil semangkuk air, lalu
mencelupkan bunga bangkawali yang ia bawa ke dalam mangkuk. Setelah beberapa saat, ia
mengusapkan air dari mangkuk itu ke mata ayahnya hingga tiga kali.
“Ayah! Cobalah buka mata Ayah pelan-pelan!” pinta Banta Seudang.
Sang Ayah pun pelan-pelan membuka matanya. Sungguh ajaib, matanya dapat melihat
seketika. Alangkah bahagianya sang Ayah dapat melihat wajah putranya.
“Sejak kamu dilahirkan, barulah kali ini Ayah bisa melihat wajahmu, Anakku! Ayah sangat
bangga padamu. Berkat usaha dan perjuanganmu, mata Ayah dapat melihat kembali seperti
semula,” ucap sang Ayah seraya merangkul Banta Seudang.
“Seharusnya, Ayah berterima kasih kepada Mak Toyo dan Jin Pari, karena merekalah yang telah
membantu Banta mendapatkan bunga bangkawali itu,” kata Banta Seudang. Setelah berterima
kasih kepada Mak Toyo dan Jin Pari, sang Ayah pun membuka rahasia mengenai siapa diri
mereka sebenarnya.
“Ketahuilah, anakku! Sebenarnya, Ayah adalah Raja negeri ini. Sejak mata Ayah buta akibat
terkena ranting kayu ketika berburu di hutan, kerajaan Ayah serahkan kepada Pakcikmu.
Namun, ketika menjadi Raja, Pakcikmu telah lupa diri dan mencampakkan kita,” ungkap sang
Ayah. Betapa terkejutnya Banta Seudang mendengar penjelasan ayahnya. Ia baru mengerti
bahwa ternyata ayahnya adalah seorang raja. Selama ini ia mengira bahwa pakciknya adalah
seorang raja yang baik, karena telah memenuhi kebutuhan keluarganya. Namun, ternyata
pakciknya adalah seorang raja yang licik dan serakah. Mengetahui keadaan yang sebenarnya,
Bangka Seudang punberniat membantu ayahnya untuk mengembalikan tahta kerajaan kepada
ayahnya. Demikian pula Mak Toyo dan Jin Pari yang setelah mendengar cerita ayah Banta
Seudang, juga bersedia ikut membantu.
Keesokan harinya, mereka pun berangkat ke istana. Ayah dan ibu Banta Seudang terbang
bersama Jin Pari dengan menggunakan baju terbang. Sedangkan Banta Seudang dan Mak Toyo
menunggang gajah putih. Sesampainya di istana, alangkah terkejutnya sang Raja saat melihat
kedatangan sang kakak bersama rombongannya. Apalagi setelah mengetahui kedua mata
kakaknya dapat melihat kembali.
“Apa maksud kedatangan Kakak kemari?” tanya sang Raja.
“Hai, Adikku! Engkau memang adik yang tidak tahu diri. Kakak berikan tahta kerajaan ini untuk
sementara, tapi engkau malah mencampakkan Kakak bersama permaisuri dan putraku selama
bertahun-tahun. Kini saatnya Kakak harus mengambil kembali tahta kerajaan ini!” seru sang
Kakak.
“Ha... ha... ha...! Akulah penguasa negeri ini. Tidak akan ada yang bisa menggantikanku sebagai
Raja. Aku memiliki banyak pengawal dan prajurit. Tapi, kalau Kakak berani merebut kembali
tahta ini, hadapi dulu para pengawal dan prajuritku!” seru sang Raja sambil tertawa terbahak-
bahak dengan angkuhnya.
Mak Toyo dan Jin Pari yang juga hadir di tempat itu sangat geram melihat keangkuhan sang
Raja. Oleh karena mereka mengetahui permasalahan yang sebenarnya, maka tanpa diperintah
ayah Banta Seudang, mereka langsung menyerang sang Raja. Dengan satu pukulan saja, sang
Raja pun jatuh tersungkur tidak sadarkan diri di depan singgasananya. Para pengawal raja yang
melihat peristiwa itu, tak seorang pun yang mau membantu sang Raja, karena mereka juga
mengetahui keadaan sebenarnya.
Ketika sadarkan diri, sang Raja bersama keluarganya diusir dari istana. Ayah Banta Seudang pun
kembali menjadi raja menggantikan adiknya yang serakah dan angkuh itu. Akhirnya, Banta
Seudang bersama keluarganya kembali tinggal di istana dan ia pun bisa bersekolah. Sementara
Mak Toyo dan Jin Pari diangkat sebagai pengawal istana.
0 Komentar untuk " Kisah Batu Mustika Bertuah dan BANTA SEUDANG (LEGENDA ACEH) "