BASIS
PEREKONOMIAN PESANTREN
Pesantren pada mulanya merupakan
pusat penggemblengan nilai-nilai dan penyiaran agama.Namun, dalam
perkembangannya, pesantren semakin memperlebar wilayah garapannya.Tidak melulu
mengakselerasikan mobilitas vertical (dengan memompa materi-materi keagamaan),
tetapi juga mobilitas horizontal (kesadaran sosial bermasyarakat).
Pesantren kini tidak lagi berkutat
pada kurikulum yang berbasis keagamaan (regional-based curriculum),
tetapi juga kurikulum yang menyentuh persoalan kekinian masyarakat (society-based
curriculum).
Dengan demikian, pesantren tidak
bisa lagi didakwa semata-mata sebagai lembaga keagamaan murni, tetapi juga
menjadi lembaga sosial yang hidup yang terus merespon carut marut persoalan
masyarakat di sekitarnya. Dengan kata lain para alumni pesantren sudah biasa
“beradaptasi” dengan dunia luar, mereka mulai berkecimpung di dunia pendidikan,
politik, social-budaya, kewirausahaan dan lain sebagainya (Mastuki HS, dan M.
IshomEl-sha, 2006:1).
Keberadaan pesantren di tengah-tengah
masyarakat mempunyai makna sangat strategis. Karena kekuatan pesantren berakar
pada masyarakat, menjadi kekuatan tersendiri dalam membangkitkan semangat dan
gairah masyarakat untuk meraih kemajuan menuju ke arah kehidupan yang makin
sejahtera. Apalagi dalam menghadapi era globalisasi yang berdampak kepada
berbagai perubahan terutama di bidang ekonomi maupun sosial-budaya.
Para pengasuh pesantren menyadari
bahwa arus globalisasi dan modernisasi merupakan proses transformasi yang tak
mungkin bisa dihindari, sehingga semua kelompok masyarakat termasuk masyarakat
pesantren harus siap menghadapinya dan perlu menanggapi dampak-dampaknya secara
terbuka dan secara kritis. Karena pesantren memiliki ciri khas yang kuat pada
jiwa masyarakatnya serta dasar-dasar keagamaan dan tradisi, menjadikan
pesantren memiliki kekuatan resistensi terhadap pengaruh-pengaruh budaya dari
luar.
Dalam hal ini pesantren dianggap
sebagai “benteng” nilai-nilai dasar di masyarakat terhadap intervensi budaya
asing. Inilah pentingnya keterkaitan pesantren dengan masyarakatnya yang
tercermin dalam ikatan tradisi dan budaya yang kuat dan membentuk pola hubungan
fungsional dan saling mengisi antara keduanya. Oleh karena itu pesantren
membutuhkan gerakan pembaharuan yang progresif terhadap segala bidang, terutama
dalam menghadapi permasalahan sosial-kemasyarakatan..
Tantangan terbesar dalam menghadapi
globalisasi dan modernisasi adalah pemberdayaan sumber daya manusia (SDM) dan
ekonomi. Berpatokan dengan hal ini, maka pimpinan pesantren berupaya
menumbuhkan SDM-SDM yang berkualitas dan tangguh yang diharapkan akan mampu
mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi dan mengatasi ekses-eksesnya.
Perkembangan SDM terjadi sebagai
hasil dari interaksi antara pertumbuhan ekonomi, perubahan sosial budaya
termasuk kedalaman pengamalan ajaran dan nilai-nilai agama serta perkembangan
modernisasi dan teknologi. Dua hal tersebut (SDM dan pertumbuhan ekonomi) harus
diarahkan pada pembentukan kepribadian, etika dan spritual. Sehingga ada
perimbangan antara keduniawian dan keagamaan. Dengan perkataan lain pesantren
harus dapat turut mewujudkan manusia yang IMTAQ (beriman dan bertaqwa), yang
berilmu dan beramal dan juga manusia modern peka terhadap realitas sosial
kekinian. Dan itu sesuai dengan kaidah ”al muhafadotu ’ala qodimish sholih
wal akhdu bi jadidil ashlah” (memelihara perkara lama yang baik dan
mengambil perkara baru yang lebih baik).
Etos Kerja Santri
Masalah perekonomian menjadi
langkah penting bagi pesantren dalam mengorganisir masyarakat. Mengingat dalam
arus ’pasar bebas’, masyarakat dituntut untuk berkompetisi hidup dalam
melanjutkan kehidupannya. Era globalisasi telah meruntuhkan kekuatan ekonomi
masyarakat kecil karena dominasi monopoli pelaku pasar yang sudah meguasai
hampir di seluruh pelosok desa. Maka pemberdayaan masyarakat melalui
kesejahteraan dan kemandirian ekonomi perlu digerakkan.
Santri dituntut menjadi agamawan
yang ”luwes”, mempunyai jiwa sosial-kemasyarakatan serta kepribadian mandiri
dan intrepreneurship.Dalam hal ini santridiharapkan mampu menjadi
”pioner perubahan” yang membentuk sebuah gerakan yang praksis di masyarakat.
Pengembangan ekonomi juga diperlukan keahlian-keahlian khusus untuk diterapkan
meliputi: manusia yang berjiwa sosial, intrepreneurship, bangunan jaringan (baik
untuk perdagangan/wirausaha, permodalan dan pemasaran). Masyarakat, khususnya
bagi pesantren harus bisa melepaskan diri dari belenggu ”pasar modernisasi” dan
lingkaran ekonomi sudah tidak merakyat lagi bagi rakyat kecil.
Adapun lanngkah-langkah yang dilakukan
oleh pesantren dalam hal menyiapkan santri era globalisasi adalah: Pertama,
Pendalaman keilmuan. Dalam hal ini keilmuan agama dan pengetahuan umum. Ajaran
agama merupakan pemupukan nilai-nilai spiritual untuk tetap teguh dalam
menjalankan ajaran agama di kala moderinisasi sudah merasuk pada wilayah jati
diri manusia. Serta pengetahuan-pengetahuan keilmuan umum dalam perkembangan
zaman terus meningkat dan setiap manusia harus bisa mengikutinya. Dan SDM
inilah yang menjadi kunci dari peradaban manusia itu sendiri. Maka diharuskan
hidup secara serasi dalam kemodernan dengan tetap setia kepada ajaran agama.
Kedua,
Menumbuhkan jiwa kewirausahaan. Etos kewirausahaan dijadikan bagi penumbuhan
dan motivasi dalam melakukan kegiatan ekonomi. Gerakan-gerakannya adalah
membangun wirausaha bangsa kita sendiri, terutama dari kalangan pesantren dan
masyarakatnya. Serta dapat menumbuhkan pengusaha-pengusaha yang tangguh yang
mampu bersaing baik di pasar internasional apalagi di pasar lokal itu sendiri.
Pesantren diharapkan dapat
melahirkan wirausahawan yang dapat mengisi lapisan-lapisan usaha kecil dan
menengah yang handal dan mandiri. Sebenarnya yang diperlukan hanyalah
menghidupkan kembali tradisi yang kuat di masa lampau dengan penyesuaian pada
kondisi masa kini dan pada tantangan masa depan.
Ketiga, Etos Kerja dan kemandirian. Realita di masyarakat pada umumnya etos
kerja ini belum sepenuhnya membudaya. Artinya, budaya kerja sebagian masyarakat
kita tidak sesuai untuk kehidupan modern. Pesantren, dimulai dengan lingkungannya
sendiri, harus menggugah masyarakat untuk membangun budaya kerja yang sesuai
dan menjadi tuntutan kehidupan modern. Sedangkan waktu adalah faktor yang
paling menentukan dan merupakan sumber daya yang paling berharga. Budaya modern
menuntut seseorang untuk hidup mandiri, apalagi suasana persaingan yang sangat
keras dalam zaman modern ini memaksa setiap orang untuk memiliki kompetensi
tertentu agar bisa bersaing dan bermartabat di tengah-tengah masyarakat. Karena
hanya pribadi-pribadi yang punya watak kemandirian saja bisa hidup dalam
masyarakat yang makin sarat dengan persaingan.
Selain hal di atas, langkah-langkah
kongkrit yang dilakukan oleh pesantren adalah: Pertama, menjadikan
pesantren sebagai pusat pemberdayaan masyarakat. Dalam konteks ekonomi, para
alumni dan masyarakat didorong untuk berkarya melalui usaha-usaha kreatif yang
mandiri yang berpusat di rumah-rumah masyarakat sekitar pesantren (home
industri). Kedua, menjadikan pesantren sebagai pusat pengembangan ekonomi
kerakyatan. Hal ini dilakukan dengan mendirikan koperasi-koperasi di lingkungan
pondok pesantren. Semoga saja kehadiran pesantren mempunyai dampak yang sangat
signifikan dalam merubah perekenomian masyarakat berbangsa.
*Penulis adalah Dosen Sejarah UIN SGD Bandung, Pengurus ICMI Orwil Jabar.
http://suakaonline.com/3549/2014/08/25/basis-perekonomian-pesantren/
0 Komentar untuk " BASIS PEREKONOMIAN PESANTREN "