Pages

Rahasia CIA dibalik G-30-S

Rahasia CIA dibalik G-30-S 
Dipetik dari artikel Kompas

Jenderal Soeharto Menuju Tahta Kekuasaan
Persepsi, itulah yang memberi makna atas suatu realitas. Fakta yang sama
dapatberbeda maknanya secara diametris akibat sudut pandang yang tidak sama.
Makna sulit dikompromikan, terlebih jika dibalut ideologi. Peristiwa G30S,
misalnya,bagi bangsa Indonesia dianggap sebagai pengkhianatan Pancasila. Tindak
balas yang dilakukan terhadap PKI menjadi layak dan sepantasnya. Banjir darah yang
menewaskan antara 500.000 - 1.000.000 rakyat Indonesia, sekitar 700.000 orang
ditangkap dan disiksa tanpa proses hukum,menunjukkan dahsyatnya makna suatu
peristiwa yang dicerna oleh kesadaran sosialsuatu bangsa. Di sini upaya kompromi
hanyalah kesia-siaan. Orde Baru yang dibangun di atas darah dan mayat-mayat
itu,menjadikan peristiwa G30S sebagai hantu yang menakutkan rakyat, yang setiap
saat dapat muncul. Peristiwa ini menginspirasikan Orde Baru membentengi rakyat
dengan ideologi pembangunan melalui P-4.

Sebaliknya bagi Pemerintah AS, G30S adalah aib jika dibuka pada publik. Arsip-arsip
menyangkut peristiwa ini disimpan rapat di pusat dokumen CIA, kendati peristiwa itu
sendiri sudah 36 tahun berlalu. UU kebebasan memperoleh informasi AS memang
menyebut batas 25 tahun usia suatu rahasia negara dapat dibuka untuk publik. Tapi ini
bergantung pada pertimbangan presiden. Zaman memang sudah berubah, generasi
berganti, bahkan rakyat AS sedikitnya delapan kali menyenggarakan pemilu presiden,
namun arsip peristiwa G30S tetap dikategorikan rahasia negara. Dibandingkan dengan
aktivitas spionase, kontra spionase, dan operasi rahasia lannya yang dilakukan AS di
eks negara tirai besi, Uni Soviet, yang hampir seluruh arsipnya sudah dibuka,peristiwa
G30S dipandang jauh lebih sensitif.

Laporan CIA tahun 1967 menyebut peristiwa pembantaian ini merupakan salah satu
yang terburuk sejak Perang Dunia II. Ia disejajarkan dengan pembantaian jutaan
warga Yahudi oleh Nazi Jerman. Lantas jika CIA sendiri menyatakan peristiwa itu
sebagai terburuk di dunia, lantas mengapa pelakunya tidak diseret ke Mahkamah
Internasional, seperti halnya perwira-perwira Nazi Jerman?
INILAH yang membuat hambar 128 halaman yang menuturkan "Coup and Counter
Reaction: October 1965-March 1966" kemudian dilanjutkan & "The UnitedStates and
Suharto: April 1966-December 1968" (180 halaman), dalam buku Foreign Relations
of The United States, 1964-1968 Volume XXVI.''

Dibuka dengan memorandum CIA untuk Presiden Lyndon B Johnson mengenai
perkembangan situasi RI. Di situ tercatat tanggal 1 Oktober 1965 pukul 07.20. "Saat
ini, di Jakarta sedang terjadi suatu pergerakan kekuatan, yang mungkinimplikasinya
sangat jauh. Kelompok yang menamakan dirinya 30 September, mengklaim berhasil
menggagalkan rencana kudeta jenderal-jenderal..." Pada paragraf terakhir, "Sangat
mungkin Soekarno sudah lebih dulu mengetahui gerakan ini dan apa tujuannya.
Penggerak utama seluruh peristiwa ini agar berjalan lancar, baik dalam perencanaan
waktu maupun detailnya, adalah Wakil Perdana Menteri I Subandrio dan pemimpin
komunis yang dekat dengan dia maupun Soekarno."

Laporan tersebut begitu cepat 'diarahkan' pada Bung Karno, Subandrio, dan PKI.
Telegram-telegram yang menyusul dari Jakarta,termasuk Dubes Marshall Green, juga
mencerminkan sikap demikian. Informasi seperti ini pula yang disampaikan dalam
telegram Direktur Wilayah Timur Jauh kepada Asisten Menhan untuk Masalah-
masalah Keamanan Internasional, 4 Oktober1965. Laporan-laporan itu mempunyai
pola sama. Selalu diawali dengan situasi yang belum menentu, pertarungan kekuatan
belum final. Kemudian ditengah gelap gulita itu, muncul cahaya. Di atas pentas
terlihat sosok trio Soekarno, Subandrio, dan PKI. Agak membingungkan memang jika
kita menyimak arsip-arsip yang sebagian besar materinya bersifat tentatif dan
spekulatif. Suatu hal yang seharusnya dijauhkan dalam dunia intelijen. Ringkasan
laporan CIA tanggal 6 Oktober, misalnya, pada poin 16 dikatakan, PKI tidak mungkin
mengelak dari keterlibatannya dalam G 30 S. Sebab tajuk Harian Rakyat, corong
resmi PKI, menyebut dukungannya pada gerakan Letkol Untung tersebut.
Akan tetapi, pada poin 18 disebutkan, Ketua PKI Aidit tentulah tidak merestui
gerakan demikian bahkan juga perubahan pemerintahan. Sebab, situasi dalam maupun
luar negeri saat itu sangat menguntungkan PKI. Di sinikemudian disebut
kemungkinan sejumlah kader yang mengambil inisiatif sendiri ikut dalam gerakan itu.
Peter Dale Scott dalam The United States and the Overthrow of Sukarno, 1965-1967,
justru melihat ada keanehan dalam Harian Rakyat yang terbit waktu itu. Padahal
penguasa militer di Jakarta melarang semua surat kabar terbit. Larangan itu disiarkan
melalui radio dan Televisi setelah gerakan Letkol Untung dipatahkan tanggal 1
Oktober. Mantan dosen dan diplomat ini melihat indikasi keterlibatan CIA dan militer
dalam mencetak Harian Rakyat itu.

Washington sendiri atas permintaan Dubes Green, mengoperasikan pemancar
gelapnya, Radio Jakarta dan Indo Press. Di samping itu, Suara Amerika,VOA,
ditingkatkan frekuensinya. Semua radio ini menyebarluaskan langsung propaganda
hitam, yang langsung menuding PKI dan Subandrio dalang peristiwa G30S. Soekarno
sendiri mengetahui rencana gerakan itu. Data-data palsu direkayasa sedemikian rupa
sehingga membentuk opini publik. Mengenai propaganda hitam itu sendiri sudah
disetujui 303 Committee sebagai bagian dari operasi rahasia di Indonesia.
Melalui Dubes Marshall Green di Jakarta, Washington menyampaikan salam hangat
dan dukungan kepada Jenderal Nasution dan Jenderal Soeharto yang memimpin
Angkatan Darat mematahkan gerakan Untung Cs. Mengetahui Angkatan Darat
membutuhkan banyak hal, termasuk perangkat komunikasi, senjata, kendaraan, obat-
obatan, dan lain sebagainya, Washington menyatakan kesediaannya.
Akan tetapi, tidak ada bantuan yang gratis di jagat ini. Bahkan,pinjaman pada lintah
darat pun masih disebut bantuan. Demikian pula pejabat tinggi di Washington, dengan
alasan ada proses yang harus dilalui, maka tidak sesegera itu bisa mengirim bantuan.
Masa menunggu itu dimanfaatkan agen-agen CIA menyuntikkan racun dalam
kesadaran pimpinan angkatan darat, mengenai perlunya menumpas habis PKI dan
simpatisannya. Memang ditampilkan ada keragu-raguan apakah nantinya akan ada
perubahan politik luar negeri pasca G30S. AS ingin mendengar jawaban pasti.Apalagi
ada kecurigaan Jenderal Nasution akan tetap loyal pada Bung Karno, sesuai
konstitusi. Namun, semua khawatiran itu berhasil ditembus Adam Malik, yang juga
mendapat dana Rp 50 juta dari Marshall Green. Dana ini digunakan untuk kampanye
menumpas PKI.

Adam Malik meyakinkan AS, Jenderal Soeharto mendapat dukungan semua pihak,
khususnya Angkatan Darat. Di lain kesempatan, Adam Malik mengatakan, Jenderal
Soeharto memahami apa yang kita (baca: AS) inginkan.
Hiruk-pikuk pembantaian PKI hampir setiap hari dilaporkan keWashington. Laporan
dari missionaris Katolik di Kediri menyebut 3.000 orangtewas dibantai pada
November 1965. Di Bali, persaingan PNI-PKI serta dendam para bangsawan yang
dirampas tanahnya, telah membuat Pulau Dewata banjir darah dengan korban 80.000
jiwa manusia yang diduga anggota atau simpatisan PKI. Kedubes AS tidak mau
ketinggalan pesta darah ini, dengan menyerahkan daftar nama ribuan kader PKI.
Walaupun tidak disebutkan secara rinci dalam buku tersebut, jauh sebelumnya
wartawati Cathy Kadane sudah mengungkap peristiwa ini. Menurut Kathy, daftar
nama tersebut diserahkan Edward Master, Kepala Seksi Politik Kedubes AS di
Jakarta, kepada sekretaris Adam Malik, yang selanjutnya disampaikan ke markas
Soeharto di Kostrad.
Dalam tulisan Cathy dari hasil wawancara dengan staf Kedubes AS masa itu,
termasuk dengan Asisten Direktur CIA untuk Timur Jauh, William Colby, diakui
bahwa daftar nama itu sangat membantu Angkatan Darat dalam menumpas PKI dan
simpatisannya.

Cathy juga mengutip salah seorang staf Kedubes AS yang datang ke Kostrad dan
melihat begitu banyak manusia yang menjadi tahanan, dan bertanya pada Soeharto
tentang proses hukumnya. Jawabnya singkat, siapa nantinya yang akan memberi
makan mereka? Ini artinya semua tawanan itu akan dibunuh.
Hal lain yang membuat buku ini agak aneh, penjelasan Marshall Green yang isinya
kurang lebih membantah pihaknya pernah membantu peralatan komunikasi kepada
Angkatan Darat ketika peristiwa itu terjadi. Sama seperti daftar nama kader PKI di
atas yang disebut diserahkan oleh staf kedutaan atas inisiatif pribadi, maka hampir
mirip dengan itu pula dalam kasus peralatan komunikasi.
Green mengatakan dalam radiogramnya ke Deplu, benar bahwa staf kedutaan
menyerahkan 3 unit radio komunikasi Motorola berikut charger baterainya. Para
jenderal membutuhkannya untuk berkomunikasi. Dengan demikian ini tidak beda
dengan handy-talky. Padahal, masih menurut pengusutan Cathy, hanya beberapa hari
setelah peristiwa G30S, seperangkat alat komunikasi modern yang tercanggih masa
itu, telah diterbangkan dengan pesawat Hercules dari pangkalan militer AS di
Filipina, dengan tujuan Jakarta. Antene alat komunikasi frekuensi tinggi itu tampak
dipajang di depan Kostrad, markas Jenderal Soeharto.

Selain itu, menurut wartawati yang liputannya menghebohkan itu, sebuah kapal yang
penuh muatan kendaraan jenis Jeep dan truk serta senjata, berangkat dari Subic,
pangkalan angkatan laut AS di Filipina, menuju Jakarta.Dari informasi yang
dihimpunnya diketahui, kendaraan dan senjata itu akan digunakan Angkatan Darat
untuk menghancurkan PKI dan simpatisannya.
***

PKI berhasil dilumpuhkan. Tetapi, di sana masih ada Bung Karno dan
Subandrio.Selama kedua tokoh itu ada, AS tidak mungkin tenang. Maka inilah yang
dibisikkan Dubes Green pada Jenderal Soeharto. Kurang-lebih demikian, bola sudah
di kaki Anda, persis di bibir gawang. Lantas apakah Anda akan menyia-nyiakan
peluang emas ini.
Soeharto yang dalam buku kontroversial itu disebut bertindak sangat hati-hati,
sehingga terkesan lamban, sempat pula membuat gemas AS. Dalam kacamata AS,
setelah pemakaman jenderal korban G-30-S pada tanggal 5 Oktober, seharusnya
Angkatan Darat dapat segera bergerak. Tapi Soeharto tidak menghendaki konfrontasi
langsung dengan Bung Karno. Keinginan AS akhirnya terkabul menjelang
pertengahan Maret 1966,setelah kabinet baru yang dibentuk masih memasukkan
unsur-unsur kiri dan mendepak Jenderal Nasution dari jabatan Menhankam.
Mahasiswa turun ke jalan, mengepung istana. Sejumlah prajurit Angkatan Darat
gabung dengan berpakaian sipil dan membawa senjata. Diteror oleh keadaan
demikian, Bung Karno akhirnya memberi kekuasaan bagi Jenderal Soeharto untuk
bertindak mengamankan situasi dan keluarga presiden.

Dengan senjata Supersemar inilah Soeharto membubarkan PKI dan
mengkonsolidasikan kekuasaan di tangannya. Pada bagian akhir sesi Indonesia di
bawah judul ''The United States and Soeharto, April 1966-March 1968'' setebal 150
halaman, AS ingin melihat bukti komitmen pemerintahan Soeharto dengan
mengakhiri politik konfrontasi terhadap Malaysia. Selain itu AS juga tidak ingin
Soekarno masih bercokol sebagai presiden, walaupun tanpa kekuasaan. Tidak kalah
pentingnya adalah meninggalkan Tiongkok, yang selama ini mendominasi politik luar
negeri RI. Semua keinginan negara adi kuasa itu dipenuhi Jenderal Soeharto.
Konfrontasi berakhir, Kedubes RRC dibakar massa, dan Bung Karno mengundurkan
diri dalam SI MPRS. Tetapi, di sini sama sekali tidak disebutkan pengunduran diri itu
akibat tekanan dari Angkatan Darat, yang mengancam akan menyeret Soekarno ke
pengadilan rakyat.

Halaman-halaman selanjutnya dipenui dengan arsip-arsip notulen rapat para pejabat
tinggi Deplu, Dephan, Dewan Keamanan Nasional, dan asisten khusus presiden,
berikut surat-menyurat di antara mereka dan telegram dari kedubes di Jakarta. Semua
notulen rapat itu mengenai kesibukan menyiapkan bantuan bagi RI, sehingga
mencerminkan "kemurahan dan kebaikan hati" Washington.
Dalam memorandum Wapres Humphrey kepada Presiden Lyndon B Johnson,25
September 1966, disebutkan ia baru saja bertemu Menlu Adam Malik di Sheraton
Ritz Hotel, Minneapolis, AS. Dalam pembicaraan yang menyangkut bantuan apa saja
dibutuhkan RI itu, Adam Malik tidak lupa menyampaikan pesan Jenderal Soeharto,
mengenai kehadiran AS di Vietnam berakibat langsung atas terjadi perubahan di
Indonesia.

Hal senada juga kembali diucapkan Jenderal Soeharto ketika Wapres Humphrey
berkunjung ke Indonesia, 4 November 1967. Bahwa hal itu atas arahan Dubes Green,
tentu tidaklah penting dipersoalkan. Presiden Johnson sangat membutuhkan
pernyataan itu untuk menyelamatkan pemerintahannya dari kecaman rakyat dan
kemungkinan impeachment Kongres AS, berkaitan dengan keterlibatan dalam Perang
Vietnam dan Laos.

Dalam memorandum dari Wakil Direktur CIA Richard Helms kepada Asisten Khusus
Presiden Walt Rostow, tanggal 13 Mei 1966, disebutkan, Presiden Johnson
memintanya untuk melakukan studi analisa yang menghubungkan langsung atau tidak
langsung dampak kehadiran AS di Vietnam dan perubahan yang terjadi di Indonesia.
"Kami tidak berhasil menemukan bukti-bukti ke arah itu. Sebab peristiwa kudeta yang
terjadi di Indonesia tampaknya murni dari perkembangan situasi politik dalam negeri
yang kompleks dan berlangsung lama." Akan tetapi, pengakuan Jenderal Soeharto
menjadi senjata ampuh bagi Presiden Johnson membenarkan kebijakan keliru dalam
intervensi militer di Vietnam. Dengan menyebut berhasil merontokkan PKI, partai
komunis kedua terbesar jumlah anggotanya di dunia, maka oposisi kehilangan
semangat dan prakarsa untuk menentangnya.

Tidak mengherankan jika Presiden Johnson, begitu besar perhatiannya terhadap
Indonesia. Bahkan ia ingin meningkatkan bantuan. Dalam sidang kabinet 17 Oktober
1967, Presiden Johnson mengatakan, "Undang Dubes Green untuk menyampaikan
pikirannya di sini. Dubes menyarankan perlu bantuan 500 juta dollar AS bagi 110
juta penduduk RI." Suatu angka yang waktu itu luar biasa besarnya, melampaui total
ekspor Indonesia. Johnson menegaskan apa pun yang terjadi, AS harus membantu
pemerintahan Orde Baru di saat kritis seperti sekarang. Semua lembaga internasional
dan negara-negara maju dikoordinasikan membantu pemulihan ekonomi Indonesia.
Seandainya mukzizat ekonomi lahir di sini, maka Indonesia akan menjadi contoh
keunggulan demokrasi, sekaligus prestasi Presiden Johnson.

Sikap Johnson ini mendorong Deplu AS dan Dubes Green memusatkan perhatian
menemukan instrumen terbaik untuk mempertahankan Orde Baru. Segala kelemahan
dan keunggulannya dianalisa, kemudian dicari jalan keluar. Termasuk dalam hal ini
orang-orang yang pas untuk bekerja sama dengan Soeharto, kemungkinan munculnya
kekuatan-kekuatan tandingan, dan kombinasi pemerintahan militer seperti apa yang
cocok di Indonesia. Deplu AS juga memikirkan pembentukan partai politik, seperti
halnya di Korsel, yang didukung Angkatan Darat, bagi persiapan pemilu untuk
memenangkan Soeharto.

Laporan Deplu di atas menjadi amat sangat ketinggalan dibanding apa yang sudah
dibaca masyarakat di Indonesia. Upaya percobaan untuk melencengkan sejarah jenis
ini sesungguhnya sudah dilakukan oleh Stig Aga Aandstad, "Surrending to Symbols:
United States Policy Towards Indonesia 1961-1965," dalam disertasi doktornya di
University of Oslo, 1999. Ia berkesimpulan AS tidak tahu-menahu soal persiapan G-
30-S. Buku dengan kesimpulan yang sama juga pernah diterbitkan CIA dalam
membela diri.

Sikap pura-pura tidak tahu ini jelas bukan jawaban atas analisa Guy Pauker, tokoh dan
otak CIA di Indonesia. Pada pertemuan dengan Wapres Humphrey dan stafnya
tanggal 17 Februari 1967, Dubes Green mengulangi analisa Pauker bahwa hampir
dapat dipastikan Indonesia akan jatuh ke tangan komunis tahun 1965. Dubes Green
hanya sekadar mengutip sampai di situ. Padahal kesimpulan palsu demikian adalah
bagian dari skenario besar, dan dimaksud memperuncing kecurigaan Angkatan Darat
terhadap PKI. Terlebih lagi Bung Karno disebut-sebut mengidap ginjal kronis.
Sebaliknya, PKI mendapat bocoran "dokument" rencana Angkatan Darat melakukan
kudeta tanggal 5 Oktober.

Pauker sangat berperan di Seskoad. Dia sangat menentukan dalam mengirim 2.100
perwira menengah dan tinggi TNI-Polri belajar di AS selama periode 1960-1965.
Pentolan utama G30S, termasuk Letkol Untung, pernah mengikuti pendidikan di AS.
Maka menjadi sangat mencurigakan jika laporan Kedubes AS maupun CIA di Jakarta
menyimpulkan, G30S melibatkan PKI, diskenariokan Menlu Subandrio dan diketahui
Bung Karno. Apalagi disebut nama Letkol Untung tidak dikenal oleh Kedubes AS.
Laporan intelijen itu tidak pula menjelaskan tiga Batalyon Raiders, pasukan utama
G30S, datang ke Jakarta atas radiogram Pangkostrad Mayjen Soeharto. Sehari
sebelum pecahnya tragedi tersebut Mayjen Soeharto menginspeksi pasukan ini. Di
sini sejarah tidak akan pernah lempang. Apalagi ia dapat menjadi aib bagi bangsa
yang memuja demokrasi dan hak asasi manusia. Negara adidaya seperti AS
seyogyanya minta maaf kepada keluarga Bung Karno dan jutaan keluarga PKI. Bukan
dengan menggelapkan fakta masa silam.

Seperti kerap dilakukannya pada negara lain, AS selayaknya pula memberi
kompensasi bagi keluarga korban yang terkait dengan G30S. Bukan dengan
mendorong militer dan elite politik Indonesia mengintimidasi rakyat yang sudah
menderita 32 tahun di bawah Orde Baru, dengan cara meniupkan bahaya laten
PKI.Atau sebaliknya, AS menyeret pelakunya-entah itu di Indonesia atau di negeri
Paman Sam-ke Makamah Internasional.

Share this article :
+
0 Komentar untuk " Rahasia CIA dibalik G-30-S "

Powered by Blogger.

Komentar

Paling Dilihat