TERORISME DAN DILEMA DEMOKRASI
Oleh: Endrizal
Terorisme dalam bentuk
apapun selalu berkaitan dengan rasa takut yang ekstrim dalam masyarakat karena
coraknya yang ekstra normal, melebihi batas-batas pelanggaran yang dapat
diterima secara social. Rasa takut itu akan bergejolak pada masyarakat yang
memiliki rentang mulai dari berpihak, netral, sampai menentang terorisme. Para
teroris memilih bermain pada lapangan yang paling menakutkan manusia, yaitu
kematian.
Disela-sela penutupan
tahun 2005, ketika masyarakat Indonesia menanti pergantian tahun, tepatnya
tanggal 31 Desember 2005 aksi bom kembali mengguncang Indonesia, ketika para
aparat kepolisian dinina bobokan dengan keberhasilannya menembak mati gembong
teroris Dr. Azahari. Ketika masyarakat Palu sedang asyik-asyiknya berbelanja di
pasar tradisional Palu, guna mempersiapkan diri untuk menyambut pergantian
tahun. Ledakan bom tanpa diduga sebelumnya, memporak-porandakan pasar
tradisonal tersebut, yang merenggut nyawa 8 orang yang tak berdosa dan 50 orang
lainnya luka-luka, seakan-akan peristiwa ini melengkapi koleksi noktah hitam
bangsa Indonesia, sekaligus mengingatkan kita betapa rentannya negri ini dari
aksi teroris. Lagi-lagi agama menjadi korban dari persaingan ideologi dan
politik global.
Peristiwa ini menggugah
hati nurani kita sebagai manusia beradab akan kekejaman aksi terorisme,
sekaligus menjadi bahan renungan dan kajian guna meningkatkan kinerja dalam
memerangi terorisme agar peristiwa serupa tak terulang lagi.
Munculnya aksi teroris
sebagai ancaman nyata, salah satunya tak lepas dari perubahan politik yang
kurang disertai dengan penataan ulang perangkat kelembagaan dan hukum dalam
bidang keamanan nasional yang mampu menangkal ancaman teror. Sasaran teroris
tak bersifat diskriminatif. Kini sasaran teror dilancarakan terhadap-sasaran
terpilih tanpa harus terkait dengan simbol-simbol kekuatan tertentu, ini
berakibat pada jatuhnya korban-korban tak berdosa yang sering kali tak terkait
dengan kekuatan tertentu yang menjadi musuh kelompok teroris. Hal ini terjadi
lantaran sasaran teroris terhadap simbol-simbol kekutan tertentu memiliki
sistem pengamanan yang lebih ketat sehingga cukup sulit untuk ditembus para
teroris.
Berbagai aksi teror di
dunia dalam kurun lima tahun terakhir ini menunjukkan, bahwa tidak ada Negara
yang kebal terhadap teror, baik Negara maju maupun Negara berkembang. Negara
maju dengan sistem keamanan yang canggih masih saja kecolongan dengan aksi
teroris, apalagi Negara-negara berkembang seperti Indonesia yang tengah menata
diri dalam sistem keamanan nasionalnya. Dalam kondisi demikian, diperlukan
kesiapan untuk menanggulangi terorisme baik dari aspek hukum, kelembagaan,
maupun pranata sosial.
Dilema Demokrasi dan kinerja BIN
Seakan-akan aksi Bom di
Palu ini mengingatkan kita kepada kisah yang memilukan ketika bom bali II
memporak-porandakan Raja’s cafe dan restaurant dipinggir pantai kuta Bali pada
1 oktober 2005, sedikitnya menelan korban 25 orang meninggal dunia dan 102
orang luka-luka. Banyaknya korban tak berdosa pada setiap aksi peledakan bom
ternyata tak mampu menggugah rasa kemanusiaan pelaku untuk menghentikan aksi
teror dengan senjata sejenis. Mereka seakan-akan buta terhadap penderitaan dan
kesedihan keluarga korban.
Lagi-lagi Badan Intelijen Negara (BIN) kembali
kecolongan, seakan-akan menunjukkan sisi kelemahan intelijen negara karena
gagal memprediksi dan mengantisipasi gangguan terhadap keamanan negara. Aparat
kepolisian dan TNI tidak bisa melindungi warga negaranya dari ancaman teroris,
seakan-akan mereka lupa akan tugas yang telah diamanatkan kepadanya, bisa dibilang
mereka gagal dalam menjalankan fungsinya.
Megapa intelijen lambat
mendeteksi? Ini dilema demokrasi. Sistem demokrasi di Republik ini juga belum
sepenuhnya berjalan akibat loncatannya yang terlalu jauh kedepan, sementara
masyarakat belum siap karena tingkat kepatuhan hukum masih rendah. Malah
tingkat kepatuhan kepada etika sosial sangat memprihatinkan. Ini semua menyebabkan kehidupan berdemokrasi tidak bisa
dilaksanakan sepenuhnya.
Dengan demikian,
kedepan yang harus dirancang oleh Badan Intelijen Negara (BIN) adalah strategi
yang komprehensif untuk menangani terorisme yang bersifat jangka panjang. Pusat
perhatian meliputi persoalan sosial ekonomi, kultural, menciptakan saling
pengertian dalam kehidupan antar warga, memberikan sentuhan demokrasi,, serta
kemungkinan mendapatkan keadilan dan kesejahteraan ekonomi. Selain itu, upaya
lain sebagai alternative adalah counter terrorism dengan menggunakan
sarana hukum, meningkatkan kewaspadaan dalam proses keamanan dalam negri, dan
mempertahankan kesiagaan militer. Sampai sekarang yang menjadi pertanyan
adalah, apakah ketiga hal tersebut sudah dilakukan atau belum?, sementara itu,
perangkat hukum sekarang tidak memadai untuk menanggulangi aksi terorisme.
Untuk itu, intelijen
harus menjalankan fungsi dengan baik, namun jangan sampai pencegahan dini itu
kemudian ditafsirkan sebagai usaha untuk mengurangi ruang publik dalam
kebebasan berekspresi. Sebab, ketika muncul ide melawan terorisme, selalu
dipolitisasi, biasanya yang selalu dikedepankan adalah isu HAM.
Memberikan rasa aman
bagi masyarakat bisa dilakukan dengan dialog intercultural meski perlu
proses panjang hingga harus menunggu bertahun-tahun. Selain itu dapat dilakukan
kegiatan pendekatan secara keagaman. Kegiatan itu dipandang perlu agar umat
tidak menafsirkan sesuatu hanya secara tekstual, yang buntutnya memunculkan
kaum militan yang melakukan segala sesuatu dengan dalih menjalankan perintah
tuhan, tetapi pada akhirnya menimbulkan banyak konsekuensinya, termasuk banyak
jatuhnya korban tak berdosa.
Yang memiliki otoritas
untuk melakukan hal tersebut bukanlah polisi, politisi, atau panglima,
melainkan tokoh agama dan dan opinion leader ditingkat lokal. Ini
terutama untuk memberikan pemahaman bahwa penggunanan kekerasan bukan cara yang
baik guna mencapai tujuan politik.
Sekali lagi dalam kasus bom yang terjadi di
Palu ini, dituntut sekali keseriusan kinerja BIN dalam menuntaskan kasus
terorisme di Indonesia ini, sudah cukup rasanya aksi teror yang serupa melanda
negri ini, yang telah merenggut ratusan korban yang tak berdosa dan tak tahu
apa-apa. Para aparat pemerintahan harus bersatu dalam menuntaskan terorisme di
Indonesia, jangan menonjolkan kekuatan masing-masing kelompok, karena mustahil
terorisme di Indonesia ini dituntaskan, kalau para aparat baik dari pihak
kepolisian, TNI, dan BIN masih menonjolkan kekuatan kelompoknya masing-masing.
Semoga ini adalah pelajaran untuk berbenah diri demi memperbaiki kesalahan dan
kelalaian yang pernah kita perbuat.
0 Komentar untuk " TERORISME DAN DILEMA DEMOKRASI "