Opini
Freeport (Papua) Daerah Sengketa
Oleh: Endrizal
Maya
tapi nyata, kira-kira seperti itulah keberadaan PT. Freepor di tanah Papua.
Sebuah perusaahaan terbesar didunia yang menjadi kebanggaan tersendiri bagi
rakyat Papua. Perusahaan yang ikut diperhitungkan bagi kemajuan perekonomian
bangsa Indonesia. Tapi, sayang perusahaan besar yang menjadi kebanggaan rakyat
Papua, sekarang menjadi lahan sengketa ditengah pasang surutnya perpolitikan
bangsa Indonesia. Satu hal yang harus kita ingat, terjadinya persinggungan
antara rakyat Papua dengan PT. Freport tidak terlepas dari masalah kecemburuan
social dan kesejahteraan perekonomian rakyat setempat.
Sebab, Akibat pendirian PT Freeport itu,
berhektare-hektare hutan habis dibabat, limbah industri tidak dikelola dengan
semestinya, tanah warga dan hak ulayat digusur, intimidasi dan teror terus
menghantui masyarakat Papua yang menuntut haknya, serta berbagai ketimpangan
lainnya. Semenjak dulu sampai sekarang polemik
tersebut masih melingkari tanah Papua yang tak kunjung selesai.
Kondisi ini, diperparah dengan kesenjangan
sosial antara masyarakat Papua dengan masyarakat pendatang. Interaksi sosial
yang tampak wajar dari luar, sesungguhnya menyimpan kesenjangan. Di Papua
beragam kultur dari berbagai wilayah di Indonesia bertemu dan berinteraksi,
namun hal itu tidak dibarengi dengan penguatan kesadaran dan kepekaan sosial,
sehingga menimbulkan masalah sosial tersendiri. Akses ekonomi, pendidikan,
keterampilan, politik, dan berbagai bidang lainnya lebih didominasi warga
pendatang yang membangkitkan kecemburuan sosial.
Semenjak
bergabungnya Papua kedalam pangkuan Ibu pertiwi Indonesia, awan hitam hampir
selalu menyelimuti kawasan ini, sampai terkenal dengan sebutan Papua wilayah
merah. Sejarah
integrasi Papua Barat ke Indonesia sejak dulu dianggap 'bermasalah'. Karena
disinyalir sarat dengan kepentingan negara kapitalis yang hanya berorientasi
ekonomi dan politik.
Akar konflik sebenarnya berawal dari
ketidak adilan dan kecemburuan social, terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat
pemerintah pusat. Sebab selama ini rakyat Papua merasa kebijakan pemerintah
berat sebelah, sangat jauh dari ketidak adilan. Pemerintah lebih memperhatikan
perkembangan ekonomi wilayah pusat (kota), dengan memarjinalisasikan pedesaan.
Perkembangan dalam sektor perekonomian lebih maju pada pemerintah pusat dengan
cara mengeruk sekaligus “mempreteli” kekayaan pemerintahan daerah (Papua).
Kekayaan alamnya dieksploitasi, sedangkan mereka hidup dengan serba kekurangan
dan keprihatinan.
Ketimpangan Sosial
Kalau kita menalar masalah ini dengan
logika yang jernih, itu semua terjadi akibat benturan persepsi dan kepentingan
antara pemerintah pusat dan masyarakat Papua, yang sampai saat ini tampaknya
belum juga kunjung berakhir. Artinya, antara kedua belah pihak sampai saat ini
belum satu frekwensi atau menemukan titik terang yang membuat keduanya merasa
tidak dizholimi. Seolah-olah rakyat Papua tidak dipandang oleh pemerintah
pusat, secara tidak langsung akan menyebabkan terjadinya sentimen dan krisis
kepercayaan antar sesama daerah.
Hasil SDA yang melimpah ruah ditanah
peninggalan nenek moyang mereka tidak memberikan kontribusi apa-apa terhadap
kesejahteraan anak-cucu mereka. Selama ini kekayaan alam mereka diperkosa
sekaligus ditarik kepemerintahan pusat. Mereka yang punya tanah, tapi kenapa
kita yang menikmati hasilnya, apakah tidak kalah sadisnya kita dari kaum
komunis.
Dalam masalah status PT. Freeport ini,
wilayah Timika, saat itu, masuk dalam kategori daerah merah. Mereka tidak
menemukan cara memperoleh manfaat dari kehadiran perusahaan ini. PT. Freeport
berdiri dengan kokoh dan tidak tersentuh di bawah penjagaan ABRI, menimbulkan
kesan di Timika ada sebuah negara dalam negara. Dari dulu sampai sekarang
urusan pertahanan keamanan selama ini menjadi bumerang pemicu konflik. Benturan
fisik dengan aparat militer yang bertugas di areal operasi perusahaan, menjadi
pergumulan mereka sehari-hari. Jumlah personil yang terlalu banyak di Papua,
terutama di areal konsesi, justru menimbulkan ketakutan di pihak rakyat.
Itu semua dilakukan pemerintah untuk
menjaga kepentingan pemodal (kapitalis) pemerintah melakukan pendekatan
militeristik dengan cara-cara kekerasan dan represif. Pendekatan militeristik
itu, secara tidak langsung semakin menipiskan kepercayaan masyarakat Papua
terhadap pemerintah Indonesia. Bahkan, kekerasan militer ini menimbulkan dendam
kesumat bagi mereka yang menjadi korban kekerasan. Sehingga sulit memutus mata
rantai kekerasan yang berlangsung terus-menerus di Papua.
Dalam paradigma seperti itu, maka di
lapangan sering terjadi perlakuan-perlakuan ekstrem berupa benturan fisik,
bahkan pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM) yang membuat rakyat Papua merasa
diperlakukan sebagai rakyat "jajahan" oleh pemerintah pusat,
sekaligus dijadikan sebagai anak tiri yang diterlantarkan tanpa ada yang
mengurus. Dalam konteks tersebut, wajar apabila secara ekstrem juga kerap
muncul "perlawanan" sebagai reaksi rakyat Papua yang merasa sebagai
pewaris tanah Papua dari nenek moyangnya atas perlakuan pemerintah pusat yang
semena-mena. Sebab, rakyat Papua beranggapan bahwa penderitaan harus menjadi
motivasi untuk mencari keadilan dan perdamaian.
Dalam menanggapi masalah pertarungan
antara PT. Freepor dengan rakyat Papua, pemerintah harus bersifat bijak dan
memandang lebih jauh kedepan. Sebab, selama ini polemik yang menyelimuti tanah
Papua sangatlah kentara sekali dengan nuansa politis. Aksi protes yang murni
untuk mendapatkan hak, secara tak disengaja telah dijadikan tunggangan bagi
kelompok tertentu yang membawa agenda tersembunyi.
Bukannya kita menuduh tapi itulah realita
yang terjadi. Seolah-olah isu yang sekarang ini sedang gencar-gencarnya
dibicarakan dikalangan pemerintahan, menjadikan elit politik dan pengusaha yang
sedang berseteru saling mengambil keuntungan, seiring dengan maraknya aksi
protes yang dilontarkan rakyat Papua. Seolah-olah mereka mengusung kepentingan
rakyat Papua, padahal mereka mengusung kepentingna individu dan kelompok
sendiri. Jelas-jelas endingnya sudah bisa ditebak, yang diuntungkan bukan
rakyat Papua tapi elit politik dan pengusaha yang juga menginginkan PT.
Freeport.
Kasus kerusuhan di Freeport hanyalah
ibarat puncak gunung es di lautan. Puncaknya tampak kecil. Namun, di bawah
permukaannya terdapat tubuh gunung yang maha besar, yakni "gunung"
ketidakpuasan rakyat Papua terhadap perlakuan atau pendekatan pemerintah pusat
yang senantiasa cenderung arogan, mengedepankan pendekatan kekuasaan,
memaksakan kehendaknya tanpa memandang, apalagi menghormati keinginan,
aspirasi, kepentingan, perasaan, dan kultur rakyat Papua.
Dalam mengambil sebuah kebijakan pemerintahan
kita harus memikirkan matang-matang, sebab kalau kebijakan yang diambil tidak
memuaskan kedua belah pihak yang sedang bersiteru, maka mustahil keamanan dan
ketentraman ditanah Papua akan terwujud. Disatu sisi pemerintah harus
memperhatikan kesejahteraan rakyat Papua sesuai dengan yang dituntut mereka,
dan disisi lain pemerintah harus memperhatikan stabilitas dan kenyamanan
pemilik modal. Sebab seperti yang kita ketahui bahwa intensitas kebergantungan
negara kita terhadap penanam modal asing sangatlah besar sekali, dan entah
kapan kebergantungan tearsebut bisa berakhir.
Identitas Diri
______________________
Nama : Endrizal
Peneliti pada Social and Philosophical Studies Yogyakarta.
0 Komentar untuk " FREEPORT (PAPUA) DAERAH SENGKETA "