Otonomi Daerah: Lunturnya Kharisma Pasar Tradisional
Oleh: Endrizal, M.A.
Diektur Indonesia Sejahtera, Aman dan Damai (IS’AD) Jawa
Tengah
Otonomi
daerah merupakan isu paling populer bagi masyarakat Indonesia pada periode 1999
hingga sekarang ini. Semua kalangan mulai angkat bicara, mulai dari elit Jakarta
sampai elit lokal sekalipun berbicara masalah otonomi daerah. Namun, otonomi
daerah sering di pahami secara keliru dan sempit, sehingga implementasi otonomi
daerah menjadi kacau.
Di
satu sisi, otonomi daerah membawa angin segar bagi terciptanya sebuah negara
yang demokratis, namun pada sisi yang lain otonomi daerah malah membawa petaka
baru yang memperparah disintegrasi, konflik horizontal, kesenjangan antar
daerah dan kemiskinan. Semenjak di berlakukannya otonomi daerah, secara tidak
langsung daerah berhak mengelola daerah secara mandiri. Pengelolaan daerah
secara mandiri inilah awal timbulnya bencana.
Setiap
daerah mulai berlomba-lomba untuk meningkatkan pendapatan daerahnya
masing-masing tanpa lagi mengindahkan aturan main yang berlaku. Sebab, dalam
pengelolaan otonomi daerah, pemerintah masih menganut paradigma teknokrasi
daripada demokrasi. Dalam konteks pengelolaan keuangan, paradigma efisiensi ini
menganut prinsip function follows money (tugas dan kewenangan mengikuti
sumber pendapatan daerah). Makin tinggi kemampuan daerah mendapatkan pendapatan
asli daerah, semakin besar pula tugas dan kewenangan yang diberikan kepada daerah otonom itu (Sutoro
Eko, 2003).
PAD
dan Pasar Tradisional
Logika
seperti di atas tersebut telah bercokol di benak para pemimpin daerah.
Penerapan prinsip ini terlalu mengedepankan faktor ekonomi (efisiensi) dan mengabaikan
faktor cultural dan politik, sekaligus menyebabkan ekploitasi ekonomi terhadap
masyarakat demi pendapatan daerah (PAD). Ambisi pemerintah daerah yang
menggebu-gebu untuk meningkatkan PAD telah menimbulkan beragam persoalan baru
bagi rakyat kecil. Salah satunya dengan meningkatnya pertumbuhan pasar modern. Sebab,
pasar modern konon di yakini sebagai penyumbang terbesar bagi pendapatan
daerah.
Pasar
modern yang selalu identik dengan swalayan, supermarket, mall, sekarang ini
tidak lagi menjamur di kota-kota besar, namun telah merambah ke berbagai sudut
daerah (kota-kota sedang berkembang) di Indonesia. Maraknya pembangunan
pasar-pasar modern di beberapa daerah yang sedang berkembang dewasa ini,
memunculkan persoalan baru bagi pedagang pasar tradisional. Secara ekonomis,
pasar modern menjadi kompetitor paling nyata bagi pasar tradisional. Sedangkan
secara sosial, hadirnya pasar modern tentu akan hadir gaya baru pola relasi sosial
dan budaya masyarakat.
Memang
tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan pasar modern dewasa ini sudah menjadi
tuntutan dan konsekuensi dari gaya hidup modern yang berkembang di masyarakat
kita. Tidak hanya di kota metropolitan, tetapi sudah merambah sampai kota kecil
di tanah air. Sangat mudah menjumpai minimarket, supermarket bahkan hipermarket
di sekitar tempat tinggal kita. Tempat-tempat tersebut menjanjikan tempat
belanja yang nyaman dengan harga yang tidak kalah menariknya. Namun di balik
kesenangan tersebut ternyata telah membuat para peritel kelas menengah dan teri
mengeluh. Mereka dengan tegas memprotes ekspansi yang sangat agresif dari
peritel kelas besar itu.
Protes
yang dilakukan para peritel berkantong tipis tersebut sebenarnya lebih
ditujukan kepada pemerintah, baik pusat maupun daerah, sebagai pengambil
kebijakan untuk mengatur persaingan yang lebih fair. Memang, setelah peritel
kelas kakap saling tidak mau kalah dalam mengembangkan bisnisnya di berbagai
tempat, termasuk ke wilayah permukiman melalui minimarket, tidak sedikit
pengecer atau toko kelontong yang merasa omset penjualannya menurun.
Keberadaan
pasar, khususnya yang tradisional, merupakan salah satu indikator paling nyata
kegiatan ekonomi masyarakat di suatu wilayah. Keberadaan pasar tradisional
sebagai salah satu sarana publik yang mendukung kegiatan ekonomi masyarakat.
Perkembangan jaman dan perubahan gaya hidup yang dipromosikan begitu hebat oleh
berbagai media telah membuat eksistensi pasar tradisional menjadi sedikit
terusik. Pasar tradisional yang ada di seluruh Indonesia dewasa ini berjumlah
13.450 unit (Kompas, 3/11/2007) yang tersebar di berbagai wilayah
Indonesia terancam tutup dan konsekuensinya jelas-jelas akan menimbulkan ribuan
pengangguran terbuka di seluruh Indonesia.
Sedangkan
di Jawa Tengah sendiri, geliat gurita pasar modern juga semakin terasa. Jika
pada 2001 di provinsi ini hanya terdapat 144 pasar modern, pada 2005 jumlah
tersebut telah meningkat menjadi 290 buah, terdiri atas 33 department store,
230 pasar swalayan, dan 27 pusat perbelanjaan. Ini berarti dalam jangka waktu
lima tahun telah terjadi peningkatan jumlah pasar modern sebanyak dua kali
lipat lebih (101,3 %). Peningkatan terbesar terjadi tahun 2004 yang mencapai
28,9%. Pada 2006 jumlah pasar modern memang agak menurun, tapi tidak seberapa
(3,1%) (Suara Merdeka, 26/11/2007).
Maraknya
pendirian pasar-pasar modern di beberapa daerah tentu saja akan mengancam
eksistensi pasar tradisional. Sebab, pasar tradisional tidak mampu bersaing
dengan pasar modern, entah itu dalam segi modal maupun secara pengelolaan.
Peran Pemerintah
Pemerintah
perlu memikirkan kelangsungan hidup pedagang pasar tradisional karena
menyangkut hajat hidup banyak keluarga. Pengembangan sektor perekonomian rakyat
ini perlu menjadi perhatian pemerintah sesuai dengan sasaran utama pembangunan
dalam PJP II yaitu pemerataan. Pemihakan pemerintah ini tidak perlu diwujudkan
dengan cara menghambat pertumbuhan pasar modern, namun hal ini dapat dilakukan dengan
melibatkan pelaku ekonomi golongan ekonomi lemah. Jadi peran pemerintah yang
utama dalam hal ini adalah alokasi peran pelaku ekonomi.
Pemihakan
pemerintah kepada pedagang pasar tradisional dapat diwujudkan dengan memberikan
kesempatan kepada pedagang pasar tradisional untuk turut memetik keuntungan
dari peluang pertumbuhan permintaan masyarakat serta membantu mengantisipasi
perubahan lingkungan yang akan mengancam eksistensi mereka. Karena sifat
pedagang pasar tradisional yang umumnya lemah dalam banyak hal, maka peran
pemerintahlah untuk secara aktif memberdayakan pedagang tradisional.
Pemberdayaan
pedagang kecil ini dapat dilakukan antara lain dengan membantu memperbaiki
akses mereka kepada informasi, permodalan, dan hubungan dengan produsen atau
supplier (pemasok). Pedagang pasar tradisional perlu mendapatkan informasi
tentang masa depan, ancaman dan peluang usahanya, serta perlunya perubahan
sikap dan pengelolaan usahanya sesuai dengan perubahan tuntutan konsumen. Dalam
kaitannya dengan produsen pemasok, pedagang pasar tradisional perlu dibantu
dalam mengefisienkan rantai pemasaran untuk mendapatkan barang dagangannya. Pemerintah
dapat berperan sebagai mediator untuk menghubungkan pedagang pasar tradisioanal
secara kolektif kepada industri untuk mendapatkan akses barang dagangan yang
lebih murah.
Modernisasi
pasar juga merupakan langkah untuk meningkatkan perekonomian pedagang kecil.
Modernisasi pasar disini dimaksudkan sebagai upaya pengelolaan pasar secara
modern sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat. Modernisasi ini perlu
diciptakan untuk menghambat beralihnya tempat belanja masyarakat masih dapat
diakomodasikan oleh para pedagang kecil. []
______________________
Nama : Endrizal, M.A.
Diektur Indonesia Sejahtera, Aman dan Damai (IS’AD) Jawa
Tengah
0 Komentar untuk " Eksistensi Pasar Tradisional "