Budaya Konflik Sebagai Identitas Kultural
Oleh: Endrizal
Penulis adalah mahasiswa Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada (UGM)
Yogyakarta
Mulai dari Sabang sampai Merauke terhampar ribuan
konflik yang terjadi di tanah air. Belasan ribu orang telah mati sia-sia, dari
Aceh hingga Papua, lebih kurang 10 tahun masa transisi yang kini makin tidak
jelas arahnya. Kekerasan dan pembunuhan atas dasar etnisitas dan keyakinan
politik masih tetap terjadi. Bentrokan antara mahasiswa dengan aparat polisi
semakin menggila. Pembunuhan terhadap petani yang memperjuangkan haknya atas
sejengkal tanah terus saja terjadi. Hak orang miskin atas penghidupannya
diabaikan. Mereka digusur secara paksa dengan menggunakan alat-alat kekerasan
negara. Nyawa manusia dicabut demi kemenangan politik dalam pemilu. Bahkan yang
paling ironisnya adalah ketika sekolah pamong praja yang bertujuan untuk
menciptakan para pengabdi Negara dan masyarakat justru dijadikan sarang
pembibitan budaya kekerasan. Kelompok-kelompok milisi sipil dari berbagai
partai politik mulai memasuki arena pertarungan demi memperebutkan kursi dalam
Pemilu 2009.
Kekerasan seolah melekat dalam masyarakat
Indonesia. Ia tidak hanya muncul dalam peristiwa penting seperti peralihan
kekuasaan, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Jamak terjadi
seorang tak bersalah mesti kehilangan nyawanya, dikeroyok hingga mati, hanya
gara-gara diteriaki maling. Setiap jam makan siang hampir seluruh stasiun
televisi di tanah air menyuguhkan tontonan ke pelosok Tanah Air berita dan
gambar-gambar yang mengeksploitasi darah dan mayat. Begitu kuatnya impresi
orang asing terhadap kultur kekerasan di Indonesia hingga bangsa ini
diidentikkan dengan kultur “amuk”, dimana kata tesebut merepresentasikan sebuah
tindakan yang brutal dan tidak berperi-kemanusiaan bahkan membabi buta.
Ketiadaan penegakan hukum terhadap para pelaku
kekerasan, penggunaan kekerasan secara eksesif oleh negara, dan dipergunakannya
persenjataan berat oleh negara untuk menghadapi warga negaranya sendiri
mengukuhkan gambaran kultur kekerasan yang ada di Indonesia. Pembantaian
terhadap mereka yang dituduh terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI)
1965, pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Timtim, Aceh, dan Papua,
penembakan warga sipil dalam kasus Tanjung Priok, sampai kasus Mei, Semanggi I
dan II, tidak diselesaikan secara serius atau bahkan dibiarkan berlalu.
Kekerasan masih dipergunakan secara eksesif untuk melawan gerakan masyarakat
sipil, termasuk dalam kasus penggusuran, kasus perburuhan, dan gerakan reclaiming
tanah yang dilakukan para petani yang tak memiliki lahan. Senjata berat seperti
tank dan pesawat tempur tidak hanya dipergunakan untuk menghadapi ancaman
eksternal, tetapi juga dipergunakan untuk menghadapi gerakan separatisme.
Konflik: Identitas Kultural
Makin marak dan berkembangnya konflik dan
kekerasan yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini seakan mengukuhkan
identitas Indonesia sebagai negeri seribu konflik. Seakan-akan budaya konflik
telah menjadi identitas cultural yang di sematkan oleh masyarakat asing
terhadap Indonesia. berlarut-larutnya konflik dan kekerasan yang teradi akhir-akhir
ini seakan tidak mampu untuk kita atasi.
Edwar Azar dengan teorinya mengenai konflik sosial
yang berlarut-larut atau Protracted Social Conflict (PSC), menyatakan
bahwa konflik merupakan representasi dari perjuangan berkepanjangan yang
seringkali penuh kekerasan oleh kelompok komunal untuk keperluan dasar seperti
keamanan, pengakuan dan penerimaan, serta akses yang adil bagi institusi
politik dan partisipasi ekonomi. Dalam hal ini, peran negara dapat memuaskan
atau mengecewakan kebutuhan dasar komunal, dan karenanya dapat mencegah atau
justru menimbulkan konflik. Istilah PSC menekankan bahwa sumber-sumber konflik
semacam ini terletak di dalam negara dan bukan antar negara (Miall, Ramsbotham,
& Woodhause, 2000).
Konflik yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini
sekaligus berbicara tentang dimensi kultural dalam konflik. Kesamaan kultural
dalam suatu kelompok, atas dasar etnisitas atau agama, sering menjadi pemicu
munculnya perlawanan bersenjata untuk memperoleh otonomi kultural atau politik.
Identitas kultural merupakan sebuah sarana yang kuat untuk mengikat suatu
kelompok masyarakat untuk bertindak secara kolektif untuk mencapai tujuan
tertentu. Karena itu, etnisitas maupun agama menjadi instrumen dalam konflik.
Ketika identitas kultural itu bercampur baur dengan perasaan ketidak-adilan
dalam perebutan sumber-sumber ekonomi dan politik, makin besar pula potensi
konflik.
Kombinasi antara identitas kultural, marjinalisasi
ekonomi dan politik, tidak hanya muncul dalam bentuk gerakan separatisme
seperti di Aceh dan Papua, tetapi manifes dalam berbagai konflik komunal yang
terjadi di Tanah Air. Namun, aspek ekonomi dalam konflik tidak hanya terkait
dengan marjinalisasi suatu kelompok, tetapi juga ada faktor ketamakan dari para
pihak yang terlibat dalam konflik.
Resolusi
Dalam mencari solusi konflik dan kekerasan yang
terjadi di Indoensia akhir-akhir ini, dimana konflik hampir selalu berangkat
dari ketidak puasan sebagian kelompok terhadap kebijakan Negara, entah itu
kesetaraan ekonomi maupun pembangunan. Untuk mencegah konflik, kata Stewart,
beberapa kebijakan perlu dilakukan, yakni koreksi untuk memperkecil perbedaan
horizontal, memperkecil fungsionalitas konflik, dan mempromosikan pembangunan
adil dan imparsial. Dari aspek ekonomi, upaya mengurangi perbedaan horizontal
itu dapat dilakukan dengan land reform dan kebijakan untuk mempromosikan
akses yang seimbang pada aset industrial dan ketenaga-kerjaan. Pemberian akses
seimbang ini termasuk kebijakan kredit perbankan yang memberikan akses kepada
semua kelompok dalam masyarakat.
Tindakan yang mesti dilakukan itu justru tidak
dilakukan, bahkan sebaliknya. Pilihan strategi pembangunan ekonomi yang
mengabdi pada kapitalisme global dan neoliberalisme yang pernah dilakukan pada
masa Orde Baru justru diperkuat kembali saat ini. Pertumbuhan ekonomi yang
mengandalkan kontribusi usaha-usaha besar dan konglomerasi justru makin
memperkuat perbedaan horizontal yang sering berkorelasi positif dengan problem
etnisitas.
Berakhir atau berkembang biaknya konflik dan
kekerasan sedikit banyak bergantung pada para komitmen pemimpin politik yang
akan berkompetisi dalam Pemilu 2009. Apakah mereka mempunyai kepedulian untuk
mempertahankan eksistensi Indonesia tanpa jalan kekerasan, apakah mereka punya
akal dan kreativitas untuk menyelesaikan konflik dan ketidakpuasan yang terjadi
di berbagai daerah dan dalam kelompok masyarakat? Ataukah sebaliknya, mereka
memilih mengeksploitasi sentimen- sentimen etnis dan agama demi kepentingan
jangka pendek diri sendiri dan kelompoknya untuk memperoleh suara dalam pemilu.
1 Komentar untuk " Budaya Konflik Sebagai Identitas Kultural "
sangat bagus untuk belajar sekali
harga excavator komatsu baru 2019