Pages

PENHGERTIAN MAWARIS,HARTA WARISAN, ILMU FARAID


  1. Pengertian Mawaris
Kata mawaris secara etimologi adalah jamak dari kata tunggal mirats yang artinya warisan, Mawaris juga disebut faraid, bentuk jamak dari faridah. Kata ini berasal dari kata farada yang artinya ketentuan atau menentukan. Dengan demikian kata faraid atau faridah adalah ketentuan-ketentuan tentang siapa-siapa yang termasuk ahli waris yang berhak mendapatkan warisan, ahli waris yang tidak berhak mendapatkannya, dan berapa bagian yang dapat diterima oleh mereka.[1]
Sedangkan harta warisan dapat disebut juga dengan harta peninggalan atau dalam bahasa Arab disebut dengan tirkah/tarikah. Adapun yang dimaksud dengan harta peninggalan adalah sesuatu yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia, baik itu berbentuk benda (harta benda) dan hak-hak kebendaan, serta hak-hak yang bukan hak kebendaan. (Muhammad Ali Ash-Shabuni, 1988: 41).
Sedangkan menurut Jumhur Ulama, harta warisan (at-Tarikah) ialah semua harta atau hak secara umum yang menjadi milik si mayit. Adapaun pendapa Muhammad bin Abdullah at-Takruni, at-tarikah ialah segala sesuatu yang ditinggalkan oleh mayit, berupa harta yang ia peroleh selama hidupnya di dunia, atau hak dia yang ada pada orang lain, seperti barang yang dihutang, atau gajinya, atau yang akan di wasiatkan, atau amanatnya, atau barang yang digadaikan atau barang baru yang diperoleh sebab terbunuhnya dia, atau kecelakaan berupa santunan ganti rugi.[2]
Beberapa istilah dalam fiqih mawaris diantaranya adalah:
1.      Waris adalah ahli waris yang berhak menerima warisan, ada ahli waris yang sesungguhnya memiliki hubungan kekerabatan yang dekat, akan tetapi tidak berhak mendapatkan warisan itu. Dalam fiqih mawaris, ahli waris tersebut dinamakan dzawil arham. Hak-hak waris dapat timbul karena hubungan darah, karena hubungan sebab perkawinan dank arena akibat hukum memerdekakan hamba sahaya.
2.      Murawis artinya orang yang mewariskan harta benda peninggalannya yaitu orang yang meninggal dunia.
3.      Al-Irs, artinya harta warisan yang siap dibagi oleh ahli waris sesudah diambil untuk keperluan pemeliharaan jenazah.
4.      Warasah, yaitu harta warisan yang telah diterima oleh ahli waris.
5.      Tirkah, yaitu semua harta peninggalan orang yang meninggal dunia sebelum diambil untuk kepentingan pemeliharaan jenazah.[3]

Harta Peninggalan terdiri dari:
1)      Benda dan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan.
Benda dan sifat-sifat yang termasuk kategori ini adalah benda bergerak, benda yang tidak bergerak, piutang-piutang.
2)      Hak-hak Kebendaan
Adapun yang termasuk kategori ini adalah sumber air minum, irigasi, pertanian dan perkebunan dan lain-lain.
3)      Hak-hak yang bukan kebendaan
Seperti hak khiyar, hak syuf’ah (hak beli yang diutamakan bagi salah seorang anggota syarikat/hak tetangga atas tanah pekarangan dan lain-lain).

Hukum Mempelajari dan Mengajarkan Ilmu Mawaris.
Para ulama berpendapat bahwa mempelajari dan mengajarkan ilmu mawaris adalah fardhu kifayah. Ini sejalan dengan perintah Rasulullah SAW. Agar umatnya mempelajari dan mengajarkan ilmu faraid, sebagaimana perintah untuk mempelajari dan mengajarkan al-Qur’an. Sabda beliau:
تعلموا القرآن وعلموه الناس وتعلموا الفرائض وعلموها الناس فإنى امرؤ مقبوض والعلم مرفوع ويوشك أن يختلف اثنان فى الفريضة فلا يجدان أحدا يخبرهما. (رواه أحمد والنسائ والدراقطنى)
“Pelajarilah oleh kalian al-Qur’an dan ajarkanlah kepada orang lain, dan pelajarilah (pula) ilmu faraid dan ajarkanlah kepada orang lain, karena aku adalah orang yang akan terenggut (mati) sedang ilmu akan dihilangkan. Hampir saja dua orang yang bersengketa tentang pembagian warisan tidak mendapatkan seorangpun yang dapat memberikan fatwa kepada mereka”. (HR. Ahmad, al-Nasa’i, dan al-Daruquthny).
Hadits tersebut menunjukkan bahwa ilmu faraid merupakan cabang ilmu yang cukup penting dalam rangka mewujudkan keadilan dalam masyarakat. Oleh karena itu, dilihat dari kegunaannya, mempelajari dan mengajarkannya yang semula wajib kifayah, dapat berubah statusnya menjadi wajib ‘ain, terutama bagi orang-orang yang oleh masyarakat di pandang sebagai pemimpin atau panutan, terutama para pemimpin keagamaan.[4]

Fungsi Ilmu Mawaris
Fungsi ilmu mawaris atau faraid adalah untuk menjaga kesejahteraan orang-orang yang ditinggalkan dengan cara yng benar dengan pembagian yang adil sesuai dengan ketentuan syari’at Islam sehingga tidak terjadi perselisihan yang dikarenakan harta yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia.
Dengan ilmu ini kita dapat mengetahui siapa saja ahli waris yang berhak menerima harta waris. Allah berfirman dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 13 dan 14
ù=Ï? ߊrßãm «!$# 4 ÆtBur ÆìÏÜム©!$# ¼ã&s!qßuur ã&ù#Åzôム;M»¨Zy_ ̍ôfs? `ÏB $ygÏFóss? ㍻yg÷RF{$# šúïÏ$Î#»yz $ygŠÏù 4 šÏ9ºsŒur ãöqxÿø9$# ÞOŠÏàyèø9$# ÇÊÌÈ ÆtBur ÄÈ÷ètƒ ©!$# ¼ã&s!qßuur £yètGtƒur ¼çnyŠrßãn ã&ù#Åzôム#·$tR #V$Î#»yz $ygÏù ¼ã&s!ur ÑU#xtã ÑúüÎgB ÇÊÍÈ
“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan” (QS. An-Nisa’: 13-14)[5]

Kedudukan Ilmu Mawaris
Ilmu faraid atau mawari merupakan salah satu ilmu yang sangat penting dalam Islam, karena dengan ilmu ini kita dapat mempraktikkan pembagian yang benar untuk orang yang benar-benar berhak menerimanya sehingga tidak ada yang dirugikan. Selain itu, dengan ilmu kita dapat menghindari perselisihan yang terjadi dalam hal pembagian harta waris.[6]

  1. Pembagian Harta Waris
Ahli waris yang mendapatkan bagian tertentu sesuai dengan penjelasan dari al-Qur’an maupun hadits, diantaranya ada yang mendapatkan:
-          Setengah (1/2)
-          Sepertiga (1/3)
-          Seperempat (1/4)
-          Seperdelapan (1/8)
-          Seperenam (1/6)
-          Dua pertiga (2/3)
Adapun rincian ahli waris yang mendapat warisan sesuai dengan furudhul muqaddarah adalah:
1)      Ahli waris yang mendapat bagian ½ ada 5 orang, diantaranya:
a.       Anak perempuan tunggal
b.      Cucu perempuan tunggal dari anak laki-laki
c.       Saudara perempuan tunggal yang sekandung
d.      Saudara perempuan tunggal yang seayah
e.       Suami, jika istri meninggal tidak memiliki anak atau cucu (laki-laki atau perempuan) dari anak laki-laki.
2)      Ahli waris yang mendapat bagian 1/3 ada dua orang, diantaranya:
a.       Ibu, jika masalah Gharawain.
Gharawain adalah jika ahli waris terdiri dari:
-          Suami, ibu dan bapak, atau
-          Istri, ibu, dan bapak.
b.      Dua saudara perempuan atau lebih yang seibu, jika tidak ada anak atau orang tua.
3)      Ahli waris yang mendapat bagian ¼ ada 2 orang, diantaranya:
a.       Suami, jika istri yang meninggal punya anak atau cucu dari anak laki-laki.
b.      Istri, jika suami tidak meninggalkan anak atau cucu dari anak laki-laki.
4)      Ahli waris yang mendapat bagian 1/8 ada 1 orang, yaitu istri, jika ada anak atau cucu dari anak laki-laki.
5)      Ahli waris yang mendapat bagian 1/6 ada 7 orang, diantaranya:
a.       Ibu ketika ada anak atau cucunya anak laki-laki atau dua orang keatas dari beberapa saudara laki-laki atau perempuan. Dalam hal ini tidak ada bedanya antara saudara seayah seibu dan lainnya atau juga tidak ada bedanya setengah dari mereka itu laki-laki dan setengahnya itu perempuan.
b.      Nenek, ketika tidak ada ibu dan juga bagi dua orang nenek atau tiga.
c.       Cucu perempuannya anak laki-laki, jika anak perempuan tunggal. Akan tetapi apabila ada dua atau lebih anak perempuan, maka cucu perempuan tadi tidak mendapat warisan.
d.      Saudara perempuan sebapak, jika ada seorang saudara perempuan sekandung, apabila mempunyai saudara lebih dari satu, maka saudara perempuan sabapak tidak mendapat warisan.
e.       Bapak, jika ada anak atau cucu dari anak laki-laki
f.       Kakek, jika ada anak atau cucu dan tidak ada bapak
g.      Seorang saudara seibu
6)      Ahli waris yang mendapat bagian 2/3 ada 4 orang, diantaranya:
a.       Dua anak perempuan atau lebih, jika tidak ada anak laki-laki
b.      Dua cucu perempuan dari anak laki-laki, jika tidak ada perempuan dan anak laki-laki.
c.       Dua orang saudara perempuan atau lebih yang sekandung
d.      Dua orang saudara perempuan atau lebih yang seayah.[7]

Cara Membagi Warisan
Sebelum pembagian warisan dilakukan terlebih dahulu harus diselidiki:
-          Berapa jumlah seluruh harta yang akan dibagi
-          Siapa saja ahli warisnya, baik karena hubungan darah atau keluarga, pernikahan atau karena sebab lain.
-          Siapa diantara mereka yang terhalang baik oleh ahli waris lain karena membunuh atau perbedaan agama.
-          Siapa saja diantara mereka yang mendapatkan bagian tertentu (dzawil furudh).
-          Ada berapa bagian masing-masing
-          Siapa yang termasuk ahli waris yang menerima sisa harta
-          Setelah ditetapkan siapa saja yang menerima warisan barulah kemudian diperhitungkan dengan yang seteliti-telitinya.[8]
Selain itu, yang perlu diperhatikan pula sebelum pembagian warisan adalah menghimpun kembali semua harta peninggalan pewaris. Harta peninggalan pewaris ini dapat berupa:[9]
1.      Harta Bawaan, yaitu harta kekayaan milik pribadi dari suami/istri yang telah ada sebelum perkawinan dilangsungkan atau telah ada pada saat perkawinan dilangsungkan atau harta benda yang diperoleh suami atau istri sebagai hadiah atau warisan. Harta bawaan ini dibawah penguasaan masing-masing suami atau istri yang mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta benda tersebut, sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
2.      Harta Bersama (gono-gini atau syirkah) yaitu harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan, baik yang diperoleh oleh suami atau istri secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Suami atau istri hanya dapat bertindak terhadap harta bersama atas persetujuan kedua belah pihak dan apabila terjadi perceraian maka harta bersama ini diatur menurut hukumnya masing-masing, bias menurut hukum agama, hukum adapt dan hukum-hukum lainnya.
Setelah menghimpun kembali semua harta peninggalan pewaris, maka pembagian harta warisan bisa dilaksanakan. Kedudukan laki-laki dan perempuan sebagai ahli waris sama, artinya sama-sama menjadi ahli waris dari orang tuanya tanpa membedakan antara keduanya.
Perlu diingat, ketentuan bagian tertentu dari ahli waris itu ada 6 macam: ½, 1/3, ¼, 1/6, 1/8, 2/3. Bilangan tersebut adalah bilangan pecahan, maka harus dicari KPTnya (kelipatan persekutuan terkecil) dalam ilmu faraid dinamakan asal masalah yang hanya terbatas kepada tujuh macam yakni masalah 2, 4, 6,8,12 dan 24.
Contoh: Seorang meninggal dunia, ahli warisnya 1 anak perempuan, suami dan bapak, sedang harta peninggalannya seharga Rp.10.000.000,- berapa bagian masing-masing?
Jawab: Anak perempuan mendapat ½ karena tunggal, suami mendapat ¼ (ada anak), bapak ashobah karena tidak ada anak laki-laki atau cucu laki-laki, sedang asal masalah (KPT) ada 4.
Anak pr
Suami
Bapak (sisa)
= 1/2
= 1/4
= 1/4
Am
4
2/4 x 10.000.000,-
1/4 x 10.000.000,-
1/4 x 10.000.000,-
= Rp. 5.000.000,-
= Rp. 2.500.000,-
= Rp. 2.500.000,-



Jumlah
= Rp. 10.000.000,-
Dalam tata cara pembagian harta warisan terdapat beberapa masalah yang berkaitan dengan pelaksanaan pembagian harta waris, diantaranya:
1)      Masalah ‘Aul
Secara harfiah ‘Aul artinya bertambah atau meningkat, yaitu bagian-bagian yang harus diterima ahli waris lebih banyak daripada asal masalahnya sehingga asal masalahnya harus ditambah atau diubah.
Contoh: Seorang meninggal, ahli warisnya istri, bapak, ibu dan 2 anak perempuan. Harta peninggalan sebanyak 54.000.000,- berapa bagian masing-masing?
Jawab: istri mendapat 1/8 (karena ada anak), bapak mendapat 1/6, 2 anak perempuan mendapat 2/3, ibu mendapat 1/6. asal masalah 24. Dengan demikian, istri mendapat 3/24, bapak mendapat 4/24, 2 anak pr mendapat 16/24 dan ibu mendapat 4/24, jumlah 27/24. untuk memudahkan asal masalah dijadikan 27 (aul).
Istri
2 anak pr
Ibu
Bapak
= 1/8
= 2/3
= 16
= 1/6
Am
24
Aul
27
3/27 x 54.000.000,-
16/27 x 54.000.000,-
4/27 x 54.000.000,-
4/27 x 54.000.000,-
= Rp. 6.000.000,-
= Rp. 32.000.000,-
= Rp. 8.000.000,-
= Rp. 8.000.000,-



Jumlah
= Rp. 54.000.000,-
Dalam masalah ini penyebut lebih sedikit dari pembilangnya. Dalam ilmu faraidh yang demikian disebut ‘Aul, yakni menambah angka penyebut agar sama dengan julah angka pembilang.[10]
2)      Masalah Radd
Masalah Radd adalah mengembalikan, yaitu memberi sisa harta warisan kepada ashabul furudh. Menurut bagian yang ditentukan ketika tidak adanya ahli waris yang ashabah. Radd dilakukan ketika ada sisa harta setelah harta waris dibagikan, sedang tidak ada ashabah dalam perhitungan pembagian harta waris tersebut, maka harta waris dibagikan kepada ahli waris yang ada.
Contoh:  seorang meninggal dunia, ahli warisnya terdiri dari saudara perempuan sekandung, saudara perempuan seayah, dan saudara seibu. Harta warisannya Rp. 30.000.000,- berapakah bagian masing-masing?[11]
Jawab:
Sdr. Pr. Sekandung
Sdr. Pr. Seayah
Sdr. seibu
= 1/2
= 1/6
= 1/6
Am 6
Radd
5
3/5 x 30.000.000,-
1/5 x 30.000.000,-
1/5 x 30.000.000,-
= Rp. 18.000.000,-
= Rp.   6.000.000,-
= Rp.   6.000.000,-



Jumlah
= Rp. 30.000.000,-
3)      Masalah Gharawain
Gharawain artinya dua yang terang, yaitu dua masalah yang terang penyelesaiannya, suatu keadaan dimana ahli waris yang ada adalah Ibu, suami dan bapak. Suami mendapat 1/2 dari harta, bagian ibu adalah sepertiga dari sisa (setelah diambil hak suami) dan bapak sebagai ashabah.[12]
Contoh: Seorang meninggal dunia, ahli warisnya terdiri suami, ibu dan bapak. Harta peninggalan Rp. 30.000.000,-.



Jawab:
Suami mendapat 1/2 x 30.000.000,- = Rp. 15.000.000,-
(sisa setelah diambil hak suami) = Rp. 15.000.000,-
Ibu mendapat 1/3 x 15.000.000,- = 5.000.000,-
Bapak sebagai ashabah 15.000.000,- -5.000.000,- = Rp. 10.000.000,-
4)      Musyarakah
Musyarakah secara bahasa artinya berserikat, maksudnya adalah apabila di dalam pembagian warisan terdapat suatu kejadian bahwa saudara-saudara sekandung (tunggal/jamak) sebagai ahli waris ashabah tidak mendapatkan bagian harta sedikitpun, karena telah dihabiskan ahli waris ashabul furudh yang diantaranya adalah saudara-saudara seibu.
Contoh: Seorang meninggal dunia, ahli warisnya terdiri dari suami, ibu, 2 orang saudara laki-laki seibu, seorang saudara laki-laki sekandung. Harta peninggalan Rp. 18.000.000,- berapa bagian masing-masing?
Jawab:
a.       Suami = 1/2 = 3/6 x 18.000.000 (seluruh harta) = 9.000.000,-
b.      Ibu = 1/6 = 1/6 x 18.000.000 (seluruh harta) = 3.000.000,-
c.       Musyarakat = 1/3 = 2/6 x 18.000.000 (seluruh harta) = 6.000.000,-
d.      Sdr. Lk.2 seibu = 1/3 x 2/6 = 2/18 x 18.000.000 (seluruh harta) = 2.000.000
e.       Sdr. Lk.2 seibu = 1/3 x 2/6 = 2/18 x 18.000.000 (seluruh harta) = 2.000.000
f.       Sdr.lk2 sekandung =1/3x2/6 =2/18x18.000.000 (seluruh harta) = 2.000.000
a+b+c+d+e = 3/6 + 1/6 + 2/18 +2/18
Jadi, suami mendapatkan Rp.9.000.000
Ibu mendapatkan Rp.3.000.000
Dua orang saudara laki-laki seibu dan seorang saudara laki-laki kandung masing-masing mendapatkan Rp.2.000.000
Dalam masalah musyarakah terdapat cara penyelesaiannya adalah bersatunya para saudara pada 1/3 harta dan mendapatkan bagian yang sama tanpa membedakan laki-laki ataupun perempuan.[13]
Orang Yang Berhak Menerima Warisan
Kata ahli waris yang secara bahasa berarti keluarga, tidak secara otomatis ia dapat mewarisi harta peninggalan pewarisnya yang meninggal dunia. Karena kedekatan hubungan kekeluargaan juga dapat mempengaruhi kedudukan dan hak-haknya untuk mendapatkan warisan. Apabila dicermati, ahli waris ada dua macam, yaitu:
1.      Ahli Waris Nasabiyah
Ahli waris nasabiyah adalah ahli waris yang kekerabatannya kepada al-muwaris didasarkan pada hubungan darah. Orang yang dapat memperoleh warisan dari orang laki-laki, sebagaimana mereka disepakati berhak menerima warisan, maka secara ringkas ada 10 orang bila diperluas ada 15 orang, yaitu:
-          Anak laki-laki
-          Cucu laki-laki dari anak laki-laki ke bawah
-          Ayah
-          Kakek terus keatas
-          Saudara laki-laki (seayah dan seibu)
-          Anak laki-lakinya saudara laki-laki sekandung meskipun jauh
-          Paman (saudara sekandung atau seayah saja)
-          Anak laki-lakinya paman
-          Suami
-          Orang laki-laki yang memerdekakan
-          Paman (saudara laki-laki seayah saja)
-          Anak laki-lakinya paman yang seayah saja
-          Saudara laki-laki seayah saja
-          Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seayah saja
Apabila semua ahli yang disebutkan diatas ada,maka yang dipastikan memperoleh warisan adalah 3 orang:
a.       Ayah
b.      Anak laki-laki
c.       Suami
Adapun ahli waris perempuan yang memperoleh warisan, maka secara ringkas ada 7 orang, sedangkan secara luas ada 10 orang, yaitu:

-          Anak perempuan
-          Cucu perempuan (dari anak laki-laki dan seterusnya kebawah)
-          Ibu
-          Nenek terus keatas
-          Saudara perempuan yang seayah dan seibu
-          Istri
-          Perempuan yang memerdekakan
-          Nenek yang seayah
-          Saudara perempuan yang seibu
-          Saudara perempuan yang seayah
Apabila semua ahli waris perempuan yang disebutkan diatas ada, maka yang dipastikan mendapat warisan hanya 5 orang, yaitu:
a)      Anak perempuan
b)      Cucu perempuan dari anak lai-laki
c)      Ibu
d)     Istri
e)      Saudara perempuan seayah seibu
Apabila semua ahli waris ada (hidup) maka yang akan menerima warisan adalah:
a.       Suami
b.      Istri
c.       Ayah
d.      Ibu
e.       Anak sendiri (laki-laki atau perempuan)[14]
2.      Ahli Waris Sababiyah
Ahli waris sababiyah adalah ahli waris yang hubungan kewarisannya timbul karena ada sebab-sebab tertentu, yaitu:
a.       Sebab perkawinan yaitu suami atau istri
b.      Sebab memerdekakan hamba sahaya
c.       Sebab adanya perjanjian tolong menolong (menurut sebagian mazhab Hanafiah).[15]

   ANALISIS
Dalam kajian kitab-kitab klasik disebutkan bahwa ilmu muwaris/ faro’idl adalah displin ilmu yang akan pertama kali hilang di muka bumi. Statamen tersebut semakin jelas tampak pada kondisi sosial budaya yang berkembang di Indonesia. Masyarakat hampir tidak menggunakan kaidah perhitungan pembagian waris menurut Islam. umumnyaoarang-orang yang tingal di perkotaan atau pedesaan membagikan warisan sebelum orangnya meninggal. ini sebenarnya salah kaprah, bentuk semacam itu tidak lah tepat dikatakan sebagai warisan, melainkan sebagai hibah/ hadiah. di pedesaan biasanya menggunakan perhitungan sesuai adat istiadat setempat.
Problem pembagian waris yang kurang sesuai dengan hukum muwaris Islam, membuat konflik tersendiri dalam kehidupan masyarakat. tak jarang konflik berkakhir dengan kejahatan fisik atau dendam di antara keluarga. hal ini jika tidak diantisipasi dengan bijak akan merusak keharmonisan bermasyarakat. keadaan ini secara tidak langsung mempengaruhi pola tingkah laku seseorang. sanak saudara, anak dan cucunya juga bisa terpengaruh nilai-nilai moral yang kurang baik dari orang tuanya.

.   KESIMPULAN
§  Faraidh adalah ketentuan-ketentuan tentang siapa-siapa yang termasuk ahli waris yang berhak mendapat warisan, ahli waris yang tidak berhak mendapat warisan, dan berapa bagian yang dapat diterima oleh mereka.
§  Hukum mempelajari dan mengajarkan ilmu mawaris adalah fardhu kifayah.
§  Seseorang yang berhak menerima bagian dalam harta warisan, furudhul muqaddarahnya dalam ilmu faraidh ada 6 bagian, yaitu: 2/3, 1/2, 1/3, 1/4, 1/6, dan 1/8.
§  Pembagian harta warisan terdapat beberapa masalah yang berkaitan dengan pelaksanaan pembagian harta waris diantaranya:
-          Masalah ‘Aul
-          Masalah Radd
-          Masalah Gharawain
-          Masalah Musyarakah
§  Ahli waris ada dua, yaitu:
-          Ahli waris nasabiyah
-          Ahli waris sababiyah
REFERENSI

Ahmad Rafiq, Fiqih Mawaris, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001
Departemen Agama RI, Fiqih Madrasah Aliyah Kelas 2, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Jakarta, 2000
Imron Abu Umar, Fathul Qarib, Menara Kudus, Kudus, 1983
Rachmadadi Ustman, Hukum Kewarisan Islam, CV. Mandar Maju, Bandung, 2009
Suhrawardi Lubis, Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2008
Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, Sinar Baru, Bandung, 1987
http://www.almanhaj.or.id/





[1] Ahmad Rifa’i, MA, Fiqih Mawaris, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal.2-3.
[2] http://www.almanhaj.or.id/
[3] Ibid, hal.4-5.
[4] Ibid, hal.7.
[5] Departemen Agama RI, Fiqih Madrasah Aliyah Kelas 2, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Jakarta, 2000, hal.4.
[6] Ibid, hal.5.
[7] Imron Abu Umar, Fathul Qarib, Menara Kudus, Kudus, 1983, hal.9-14.
[8] Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, Sinar Baru, Bandung, 1987, hal.372.
[9] Rachmadadi Ustman, Hukum Kewarisan Islam, CV. Mandar Maju, Bandung, 2009, hal.124-125.
[10] Ahmad Rafiq, Op.Cit, hal.109-110.
[11] Ibid, hal.116.
[12] Ibid, hal.129.
[13] Ibid, hal.133.
[14] H. Imron Abu Umar, Op.cit, hal.3-5.
[15] Ahmad Rafiq, Op.Cit, hal.64-65.
Share this article :
+
Next
This is the current newest page
1 Komentar untuk " PENHGERTIAN MAWARIS,HARTA WARISAN, ILMU FARAID "

Powered by Blogger.

Komentar

Paling Dilihat