Pages

Membongkar Kapitalisme Simbolik

Budaya Konsumtif Dalam Bingkai Kapitalisme
Oleh: Endrizal, M.A.
Alumnus Magister Sosiologi UGM
Wacana kapitalisme bukan lagi menjadi hal yang baru bagi kalangan masyarakat dunia. Dalam pandangan Robert E. Lerner dalam Western Civilization (1988) menyebutkan bahwa, kapitalisme adalah sebuah sistem produksi, distribusi, dan pertukaran di mana kekayaan yang terakumulasi diinvestasikan kembali oleh pemilik pribadi untuk memperoleh keuntungan..
Kapitalisme bukan hanya diadopsi oleh Negara maju sebagai system pembangunan dan model perekonomian, bahkan system pendidikanpun sudah mulai dijalari oleh system kapitalisme ini. Bahkan imbas dari system kapitalisme ini sendiri sudah merambah ke Negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Selama ini sistem kapitalisme yang identik dengan model pambangunannya, seperti gedung-gedung bertingkat, gaya borjuis dan life style (gaya hidup konsumtif), bahkan yang paling ironisnya, kini system kapitalisme tidak hanya berkembang diperkotaan, bahkan system kapitalisme telah merambah kepelosok tanah air Indonesia. Seperti berkembangnya pasar-pasar modern di pedesaan, dimana tempat-tempat pembelanjaan modern tersebut telah mampu menggeser dan menggantikan peran pasar tradisional. Seperti yang kita ketahui, bahwa bagi masyarakat Indonesia khususnya masyarakat pedesaan, pasar tradisional merupakan simbol kekuatan ekonomi rakyat kecil.
Namun, dalam kontek ini saya tidak akan berbicara tentang kapitalisme dalam konteks bangunan modernis seperti yang telah banyak disinggung oleh para pakar ekonomi. Namun, saya akan mencoba untuk melihat bangunan simbolis dari kapitalisme itu sendiri. Sebab, peran yang dimainkan oleh bangunan kapitalisme simbolik lebih besar dibandingkan dengan peran yang dimainkan oleh bangunan-bangunan modernis. Bisa dikatakan bahwa kapitalisme simbolik merupakan cikal bakal berkembangnya system kapitalisme di dunia pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya.
Landasan Simbolik
Dalam bangunan kapitalisme simbolik, sekurang-kurangnya ada tiga hal yang menjadi landasan dan konsepsi dari bangunan kapitalisme simbolik itu sendiri. Pertama, kuasa informasi atau pengetahuan. Masyarakat Indonesia seakan lupa dan tidak menyadari bahwa proses pengenalan dan peerkembangan kapitalisme selama ini lebih banyak diperoleh dari suatu wcana di dalam teks dan literature. Dalam pandangan Bourdieu, salah satu agen yang turut memperluas kapitalisme adalah pendidikan (In the other Words, Bourdieu; 1994).
Pendidikan kini bukan hanya berfungsi sebagai institusi yang mendidik para siswa, melainkan juga mereproduksi wacana tentang kekuatan kapitalisme. Terbukti biaya pendidikan belakangan ini semakin dibuat mahal, hanya dengan alasan harga-harga kebutuhan hidup di pasaran makin melonjak tajam. Seakan-akan biaya pendidikan mempunyai keterikatan yang kuat dengan harga bahan pokok. Tidak semestinya kenaikan harga sembako berimbas kepada melambungnya harga pendidikan. 
Bahkan ditingkat kampus sekalipun, pengenalan kekuatan kapitalisme semakin kuat dan berkembang. Seperti melalui materi perkuliahan dan hegemoni wacana yang dikembangkan oleh pihak kademika yang bermazhab kapitalisme tulen.
Berangkat dari dunia pendidikan inilah kapitalisme berkembang menjadi ideologi di tengah masyarakat. Indikasinya adalah pengkultusan terhadap uang. Tak heran jika di masyarakat kini segala sisi kehidupan diukur dan dibahasakan dengan uang. Bahkan, pergaulan sosial pun dipilih serta dipilah berdasarkan siapa yang memiliki uang.
Kedua, media massa. Seperti yang kita ketahui bahw media massa mempunyai peran ganda, pada satu sisi berperan sebagai pencerdas bangsa dan disisi lain berperan sebagai pencipta budaya konsumtif lewat iklannya. Tentu tidak semua iklan memiliki orientasi kapitalisme. Artinya iklan yang bermakna kapitalisme di sini adalah iklan yang bersifat merekayasa massa untuk menghegomoni mereka agar mengkonsumi produk-produk kapitalisme.
Dalam konteks ini, masyarakat awam yang kesadarannya masih rendah akan mudah terpengaruh oleh bujuk rayu iklan. Ketika terbujuk, mereka pun akan tersugesti untuk mengkonsumsi produk kapitalisme yang diiklankan. Akibatnya, mereka lupa diri untuk menyisihkan uangnya demi kebutuhan masa depan yang tidak bisa diprediksikan.
Ketiga, gaya hidup kelas. Derajat kekuatan kapitalisme sebetulnya dapat kita minimalisir dalam masyarakat selama tidak ada kelas sosial yang mengumbar hasrat superioritasnya dalam kehidupan sosial. Tetapi, dengan adanya kapitalisme, terutama produknya yang serba mahal dan import, justru direkayasa kelas sosial atas sebagai sarana merepresentasikan posisi dan gengsinya.
Masyarakat seolah-oleh dikotak-kotak menjadi beberapa bagian, ada golongan minoritas dan golongan mayoritas, ada golongan kelas atas, menengah dan bawah. Selama pendikotomian berdasarkan kelas masih terjadi ditengah masyarakat, maka selama ini kapitalisme tetap tumbuh subur di tengah kehhidupan social masyarakat.
Langkah Emansipatoris
Merebaknya gaya hidup konsumtif dan tingginya perbedaan status berdasarkan kelas akan melahirkan persoalan social yang baru. Dimana kondisi social masyarakat yang terdiri dari dari kelas-kelas social yang beragam akan menciptakan mimesis sosial. Yakni, situasi yang bisa merangsang kelas sosial menengah ke bawah untuk meniru gaya hidup kelas atas. Ironisnya, ketika praktik mimesis sosial tidak bisa dipenuhi karena keterbatasan ekonomis, maka langkah yang dilakukan adalah melakukan aksi kriminalitas. Tindak kriminalitas merupakan efek dari fragmentasi kelas sosial buah dari kapitalisme yang sedang mengakar di masyarakat.
Guna menangkal kapitalisme simbolik itu, maka budaya lokal yang tercermin dari sikap tolong-menolong (gemeinshelf) bukanlah satu-satunya kekuatan penangkal kapitalisme yang sedang merambah di berbagai daerah. Perlu juga pendidikan kritis secara merata agar terbangun kesadaran yang emansipatoris dalam masyarakat luas. Dimana bertujuan untuk melebur fragmentasi kelas sosial yang selama ini kerap menciptakan ketiadakadilan dan jurang pemisah di dalam interaksi sosial kita.

Identitas Diri
______________________
Nama : Endrizal, MA



Share this article :
+
0 Komentar untuk " Membongkar Kapitalisme Simbolik "

Powered by Blogger.

Komentar

Paling Dilihat